Senin, 04 Juni 2012

TILAKHANA, PATTICA SAMMUPPADA, TUMIMBAL LAHIR DAN NIBBANA



Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Agama Buddha
Dosen pembimbing     : 1. Drs. H. Roswen Dja’far
                                      2. Hj. Siti Nadroh, M.Ag
                                 3. Saeful Azmi, M.Ag

Oleh :
              Iis Solihah                           : 1110032100025
     Firdan Bagus Prangesta       : 1110032100016


JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2012


Pendahuluan
Bila manusia berada dalam Dhamma, ia akan dapat melepaskan dirinya dari penderitaan dan akan mencapai Nibbana, yang merupakan akhir semua derita. Nibbana tidak dapat dicapai dengan cara sembahyang, mengadakan upacara – upacara atau memohon kepada para dewa. Akhir derita hanya dapat dicapai dengan meningkatkan perkembangan bathin.
Perkembangan bathin ini hanya dapat terjadi dengan jalan berbuat kebajikan, mengendalikan pikiran dan menyucikan bathin, sehingga dapat menaklukan badai di hati serta mengembangkan cinta kasih dan kasih sayang dalam dirinya kepada semua makhluk.
Dengan demikian, Buddha Dhamma adalah agama yang pada hakekatnya mengajarkan hokum – hokum abadi, pelajaran tata susila yang mulia, ajaran agama yang mengandung faham – faham filsafat yang mendalam, yang merupakan keseluruhan yang tak dapat dipisah – pisahkan.
Buddha Dhamma memberikan pada para penganutnya suatu pandangan tentang hokum abadi, yaitu hokum – hokum alam semesta sebagai kekuatan yang menguasai dan mengaturnya.

A.    Hukum Kesunyataan
1.      Pengertian Hukum Kesunyataan
Hukum kesunyataan berarti hokum abadi yang berlaku dimana – mana, mengatasi waktu dan tempat serta keadaan. Ini berarti bahwa hokum kesunyataan bersifat kekal dan abadi sepanjang masa yang berlaku di semua tempat, di dalam keadaan / kondisi di setiap waktu.
Hokum kesunyataan berbeda dengan hokum yang dibuat oleh manusia, karena hokum yang dibuat oleh manusia sifatnya tidak kekal dan tidak dapat mengatasi waktu, tempat dan keadaan. Jadi berlainan sekali dengan hokum kesunyataan yang dibuat oleh yang kekal dan abadi yaitu Sanghyang Adi Buddha.
Kata kesunyataan ialah berasal dari bahasa sanskerta SUNYATA atau bahasa pali SUNNATA yang berarti jalan pikiran ( konsepsi ) yang tidak dapat dibentangkan dengan kata – kata manusia, hanya dapat ditembus dengan pandangan terang. Kata sunyata adalah dari kata SUNYA /  SUNNA artinya pencirian segala sesuatu yang kosong dari definisi yang tepat :
“ Tidak dapat disebut kosong atau tidak kosong atau kedua – duanya atau bukan ke dua – duanya, tetapi untuk mencirikannya disebut saja Sunya / Sunna.” ( Madhyanika Shastra XV )
2.      Empat Macam Hukum Kesunyataan
Banyak tempat yang tidak terhitung lagi jumlahnya, ajaran tersebut dibentangkan dan diterangkan  berulang – ulang kali dengan lebih banyak perincian dan dengan berbagai – bagai cara, sehingga dapat dikenal adanya empat hokum kesunyataan  yaitu :
a.       Cattari Ariya Saccani artinya empat kebenaran mulia / empat kesunyataan.
b.      Kamma artinya sebab – akibat perbuatan dan punabbhava artinya kelahiran kembali atau tumimbal lahir.
c.       Tilakhana artinya tiga corak umum dan pancakhandha artinya lima kelompok kehidupan atau yang disebut manusia.
d.      Pattica Samuppada artinya pokok permulaan sebab akibat yang saling bergantungan.


Empat kesunyataan Suci tersebut adalah :
1.      Kesunyataan Tentang Dukkha atau Dukkha Ariya Sacca
-          Kelahiran, usia lanjut dan kematian adalah dukkha
-          Timbulnya kesedihan, kesakitan, kesengsaraan, putus asa adalah dukkha
-          Keinginan yang tak tercapai adalah dukkha
-          Kehilangan sesuatu yang dicintai / disukai
-          Masih banyak lagi lain – lainnya yang menimbulkan dukkha
2.      Kesunyataan Tentang Asal Mula Dukkha
Dukkha disebabkan adanya napsu keinginan, kehausan, kerinduan ( tanha ) yang berhubungan dengan kenikmatan indrinya dan pikiran untuk terus mempertahankannya, atau menolak sesuatu yang tidak disukai / dicintai dan hal ini mengakibatkan timbulnya proses  tumimbal lahir.
3.      Kesunyataan Tentang Lenyapnya Dukkha
-          Dukkha hanya dapat lenyap dengan padamnya arus kekotoran bathin, yang berarti terhentinya proses tumimbal lahir dan tercapainya Nibbana.
-          Selama perasaan, pikiran dan perbuatan kita tidak dibiarkan bekerja terus sampai melalui batas – batas kemampuan, maka selama itu pula kita dapat terbebas dari segala penderitaan atau dukkha.
4.      Kesunyataan Tentang Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha
-          Harus memiliki pandangan yang benar
-          Harus memiliki pikiran yang benar
-          Harus memiliki ucapan yang benar
-          Harus memiliki perbuatan yang benar
-          Harus memiliki mata pencaharian yang benar
-          Harus memiliki daya upaya yang benar
-          Harus memiliki perhatian yang benar
-          Harus memiliki konsentarasi yang benar
 

B.     Tilakkhana
Tilakkhana artinya Tiga Corak yang universil dan ini termasuk Hukum kesunyataan, berarti bahwa hokum ini berlaku di mana – mana dan pada setiap waktu. Jadi Hukum ini tidak terikat oleh waktu dan tempat.[1]
a.       Sabbe Sankhara Anicca
Segala sesuatu dalam alam semesta ini, yang terdiri dari paduan unsure – unsure adalah tidak kekal dan sebagai umat Buddha melihat segala sesuatu dalam alam semesta ini tidak lain sebagai sesuatu proses yang selalu dalam keadaan bergerak.
b.      Sabbe Sankhara Dukkha
Apa yang tidak kekal itu adalah tidak memuaskan dan oleh karenanya adalah penderitaan.
c.       Sabbe Dhamma Anatta
Segala sesuatu yang bersyarat maupun yang tidak bersyarat ( Nibbana ) adalah tanpa inti yang kekal, karena tanpa pemilik dan juga tidak dapat dikuasai.
Disamping paham Anatta yang khas ajaran YMS Buddha Gotama, terdapat pula dua paham lainnya yaitu :
1.      Attavada, ialah paham bahwa atma ( roh ) adalah kekal abadi dan akan berlangsung sepanjang masa. Paham ini tidak dibenarkan oleh YMS Buddha Gotama.
2.      Ucchedavada, ialah paham bahwa setelah mati atma ( roh ) itu pun akan ikut lenyap. Paham ini juga tidak dibenarkan oleh YMS Buddha Gotama.
Tiga Corak Umum Yaitu : Anicca, Dukkha dan Anatta
a.      Anicca ( Ketidak kekalan )
Kata anicca berarti Tidak kekal, yaitu segala sesuatu yang ada di alam semesta ini terus menerus mengalami perubahan. Terdapatlah dua factor, yaitu pembentukan ( uppada ) dan penghancuran ( nirodha ) yang berlangsung terus menerus, yang tidak pernah berhenti walau sekejap pun.
Di dalam kitab suci Tipitaka mengatakan, bilamana seorang telah menebus kesunyataan atau Dhamma, ia akan menyadari, segala sesuatu yang terbentuk pasti akan lenyap kembali.
b.      Dukkha ( Derita Jasmani Rohani )
Pembahasan yang kedua dari Tilakkhana atau tiga corak umum, ialah tentang kenyataan dari Dukka atau penderitaan, merupakan corak yang khas dari semua kehidupan ( samsara ), yaitu tentang ketidakpuasan pada umumnya.
Arti istilah Dukkha yang dimaksudkan dalam pandangan di bidang filsafat umum, adalah suatu perasaan atau pikiran yang tidak puas, yang timbul karena tidak tercapainya suatu keinginan atau yang timbul karena perubahan – perubahan  yang senantiasa terjadi di dalam diri maupun diluar diri kita.
Menurut YMS Buddha Gotama, bahwa permulaan, kelangsungan dan pengakhiran dari suatu keadaan yaitu seluruh alam ( loka ) dari setiap makhluk hidup, adalah berpusat pada pribadinya sendiri, yakni kelima kelompok kehidupan merupakan pribadi, yaitu terdiri atas jasmani, perasaan, pencerapan, sankhara ( bentuk pikiran ) dan kesadaran. Jelas bahwa bentuk jasmani adalah salah satu unsure pribadi yang dapat dilihat.
Yang menimbulkan Dukkha menurut Hukum Paticca Sammuppada yaitu :
1.      Tanha Diikuti Oleh Upadana
Tanha yaiu keinginan atau kehausan atau kerinduan, dan upadana yaitu kemelekatan  atau ikatan untuk mencapai sesuatu yang di inginkannya.
2.      Upadana Diikuti oleh Bhava
Bhava sesungguhnya yang berarti terbentuk dan disini diartikan sebagai terbentuknya proses kehidupan kita. Maka bergantung kepada Upadana terbentuknya proses kehidupan kita.
3.      Bhava Diikuti oleh Jati, Jaramarana
Jika Bhava ( proses kehidupan atau arus penjelmaan ) ini terbentuk, maka timbullah kelahiran, usia tua, kematian, mengalami kesuksesan atau kegagalan, dengan demikian timbulah segala macam penderitaan.


c.       Anatta ( Tak ada inti yang kekal / Tanpa Aku )
Anatta ini, adalah suatu corak yang universal, yang meliputi semua keadaan dari bentuk – bentuk jasmani dan rohani.
Untuk lebih jelasnya, marilah kita hubungkan beberapa masalah dengan Anatta :
1.      Substansi Zat
Sebuah cincin, piala, atau sebuah mata uang kesemuanya adalah perwujudan daripada logam emas yang sama misalnya. Logamnya tetap emas tidak berubah didalam semua perwujudan itu. Demikianlah maka perubahan justru mengharuskan adanya sesuatu yang tinggal tetap dan tak berubah.
2.      Aku – Diri – Ego
Jika anggapan suatu “ DIRI “ yang kekal harus diterima untuk menerangkan adanya identitas, maka anggapan itu tentu harus berlaku untuk apapun juga, untuk menerangkan adanya identitas di tengah – tengah arus perubahan.
3.      Yang sama atau berbeda
Secara kasar kita dapat mengumpamakan manusia sebagai sebuah pelita, dengan kesadarannya atau citta sebagai nyala apinya, yang mengalami prosesnya sendiri dalam suatu arus yang mengalir terus menerus. Perumpamaan ini tidak berarti, bahwa jasmani tetap dan tidak berubah, melainkan mengalami pula proses perubahannya sendiri.
4.      Apakah manusia itu
Misalnya : apakah yang disebut kereta ? dan apakah pula yang dimaksudkan bila kita mengatakan kereta ? Di dalam sebuah kereta tidak terdapat suatu inti atau rangka, kendali, jari – jari, sumbu dan banyak lagi bagian – bagian lainnya. Bila terpisah dari bagian – bagian tersebut, tidak terdapat sesuatu apapun yang dapat dinamakan “ kereta “ karena yang dinamakan kereta adalah mencakup semua bagian – bagian yang membentuknya.
5.      Pancakkhandha atau lima kelompok kehidupan
Contoh : kata – kata “ saya berpidato “ dan kata “ saya “ tidak dimaksudkan untuk jasmani ataupun rohani kita secara terpisah – pisah, melainkan untuk paduan kerjasama daripada kedua – duanya. Lidah ( jasmani ) adalah tidak dapat bepidato tanpa adanya rohani yang berpikir, sedangkan rohani tidak dapat berpidato tanpa adanya lidah. Berpidato hanya mungkin dapat dilakukan, jika lidah ( jasmani ) dan pikiran ( rohani ) kedua – duanya bekerjasama merupakan satu kesatuan.
6.      Tumimbal Lahir ( kelahiran kembali )
Tidak ada sesuatu yang keluar dari tubuh seseorang yang meninggal dan memasuki seorang bayi ; akan tetapi kedua kehidupan itu haruslah dipandang sebagai satu rangkaian “ tanha “  dan “ upadana “ dimana yang satu menimbulkan yang lain.
7.      Prinsip yang menggerakan hidup
Tidak terdapat sesuatu “ Diri “ atau “ Atta “ karena pribadi kita terbentuk menurut keadaan jiwa kita, yang senantiasa bergerak dan berubah yang bergantungan kepada kita sendiri untuk membentuk dan mengembangkannya.
8.      Keadaan bathin atau jiwa atau rohani
Bilamana ketika kita berada di jalanan kita berjumpa dengan seekor gajah yang melintas maka ingatan ini akan lama melekat di dalam pikiran kita, sehingga kita jauh berjalan ; sedangkan bilamana kita bejumpa dengan orang biasa, yang tidak mempunyai keistimewaan apapun juga, maka kita akan cepat melupakannya, begitu orang itu lewat dari pandangan kita.
9.      Apa yang dilupakan tidak lenyap sama sekali
Sekalipun cepat atau lambat kita akan melupakan segala sesuatu yang kita sadari, akan tetapi pengalaman-pengalaman itu tetap tinggal dalam bathin kita. Segala sesuatu yang dilupakan, seolah-olah disimpan dalam bathin kita dan bathin kita merupakan suatu gudang yang besar serta menakjubkan. Dimana segala pengalaman-pengalaman, kesan-kesan dan pikiran-pikiran yang kita terima sejak saat permulaan dilahirkan disimpan dan disusun pada tempatnya masing-masing. Segala sesuatu yang kita rasakan, yang kita pikirkan dan yang kita lakukan tetap tinggal disana.
10.  Bawah sadar kita sanga giat bekerjanya
Diluar bathin kita yang terdiri dari bagian  sadar dan bawah sadar itu, tidaklah terdapat sesuatu yang gaib seperti ego atau atta. Watak kita ditentukan oleh bawah sadar kita sendiri. Seseorang berwatak baik jika bawah sadarnya penuh dengan kesan – kesan dan pikiran – pikiran yang baik, dan seseorang yang berwatak jahat jika bawah sadarnya yang berwatak jahat, jika bawah sadarnya penuh dengan keburukan – keburukan dan kejahatan – kejahatan. Bawah sadar itu mengandung segala – galanya yang pernah kita alami di masa yang lampau, yaitu di dalam kehidupan kita yang lampau. Dari uraian diatas jelas bahwa ketiga pengertian dari Anicca, Dukkha, Anatta adalah merupakan tiga batu pilar dari semua bangunan agama Buddha.

C.    Pattica Samuppada
1.      Bunyi hokum Pattica Samuppada
Perkataan  pattica samuppada terdiri atas : Pattica artinya disyaratkan dan kata Samuppada artinya muncul bersamaan. Jadi perkataan pattica samuppada artinya kurang lebih yaitu muncul bersamaan karena syarat berantai, atau terjemahan yang sering terlihat dalam buku – buku, yaitu Pokok permulaan sebab akibat yang saling bergantungan.
Prinsip dari ajaran hokum pattica samuppada diberikan dalam empat rumus / formula pendek yang berbunyi sebagai berikut :
1.      Imasming sati idang hoti
Dengan adanya ini, maka terjadilah itu.
2.      Imassupada idang uppajjati
Dengan timbulnya ini, maka timbullah itu
3.      Imasming asati idang na hoti
Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu
4.      Imassa nirodha idang nirujjati
Dengan terhentinya ini, maka terhentilah juga itu

Berdasarkan prinsip dari saling menjadikan relativitas, dan saling bergantungan, maka seluruh kelangsungan dan kelanjutan hidup, dan juga berhentinya hidup telah diterangkan dalam satu rumus / formula dari dua belas pokok yang dikenal sebagai pattica samuppada.
Kedua belas pokok itu berbunyi sebagai berikut :
1.      Avijja paccaya sankhara
Dengan adanya ketidaktahuan, maka terjadilah benuk – bentuk kamma.
2.      Sankhara paccaya vinnanang
Dengan adanya bentuk – bentuk kamma, maka terjadilah kesadaran.
3.      Vinnana paccaya namarupang
Dengan adanya kesadaran, maka terjadilah rohani – jasmani.
4.      Namarupa paccaya salayatanang
Dengan adanya rohani – jasmani, maka terjadilah enam landasan indriya.
5.      Salayatana paccaya phasso
Dengan adanya enam landasan indriya, maka terjadilah kontak / kesan – kesan.
6.      Phassa paccaya vedana
Dengan adanya kontak / kesan, maka terjadilah perasaan.
7.      Vedana paccaya tanha
Dengan adanya perasaan, maka terjadilah keinginan / kehausan.
8.      Tanha paccaya upadanang
Dengan adanya tanha, maka terjadilah kemelekatan.
9.      Upadana paccaya bhavo
Dengan adanya kemelekatan, maka terjadilah proses penjelmaan.
10.  Bhava paccaya jati
Dengan adanya proses penjelmaan, maka terjadilah kelahiran.
11.  Jati paccaya jaramaranang
Dengan adanya tumimbal lahir, maka terjadilah kelapukan, keluh kesah, sakit,   kematian dll.
12.  Jara marana
Kelapukan, keluh kesah, sakit, kematian dll, sebagai akibat dari tumimbal lahir.

Beginilah kehidupan timbul, berlangsung dan bersambung terus. Jika kita ambil rumus tersebut dalam arti yang sebaliknya, maka sampailah kepada penghentian dari proses itu. Pattica samuppada ini adalah merupakan obyek dasar dari Vipassana Bhavana termasuk salah satu obyek dari keenam obyek dasar vipassana bhavana, yaitu[2] :
a.       Khadha 5 / Pancakkhandha
b.      Dhatu 18
c.       Ayatana 12
d.      Indriya 22
e.       Pattica samuppada
f.       Ariya Sacca / Cattari ariya saccani
2.      Pattica Samuppada Bersifat Ilmiah
Pokok permulaan  sebab akibat yang saling bergantungan atau muncul bersamaan karena syarat – syarat yang salaing bergantungan yang dapa dinyatakan dengan ; “ Bergantung kepada ini maka timbullah itu, atau oleh karena adanya ini maka itupun ada. Seluruh alam semesta ini dikuasai oleh hokum Paticca samuppada.
Hukum paticca samuppada ini adalah tidak sama dengan hokum sebab akibat dari Aristoteles, seorang filsuf abad ke lima Sebelum Masehi. Menurut hokum Paticca Samuppada, bahwa dua kejadian itu tidak dapat dianggap terpisah secara tegas satu dari yang lainnya, oleh karena keduanya itu merupakan mata rantai yang berurutan didalam suatu proses yang tidak mengenal sela – sela ( batas ).
Tiada sesuatu kejadian di alam semesa ini yang berdiri sendiri secara mulak. Sesuatu sebab tidak mungkin berdiri sendiri tanpa ada bersama – sama dengan akibatnya.
Penggunaan Hukum paticca samuppada untuk menjelaskan adanya derita, dimana YMS Buddha Gotama merenungkan sebab musabab daripada kematian, kelapukan, dan kesengsaraan. Berbeda sekali dengan penjelasan dari orang – orang lainnya, yang masih banyak diliputi ketahayulan, dan Beliau tidak percaya bahwa penderitaan manusia disebabkan oleh karena murkanya dewa – dewa yang bermacam – macam.
 Beliau mempergunakan akal pikiran, sehingga penyelidikan – penyelidikannya bersifat ilmiah. Kemudian dicobanya untuk mencari sebab musabab penderitaan manusia berdasarkan hokum paticca samuppada.
Rumusan keseluruhan hokum pattica Samuppada itu diringkas sebagi berikut :
“ Dengan adanya ini, adalah itu, dengan timbulnya ini, timbula itu. Dengan tidak adanya ini, tidak adalah itu, dengan lenyapnya ini, lenyaplah itu.”


D.    Tumimbal Lahir
Tumimbal lahir adalah hokum kelahiran kembali. Semua makhluk akan terus dilahirkan kembali di berbagai alam kehidupan ( sesuai dengan karmanya masing – masing ) selama masih di cengkeram oleh tanha ( nafsu keinginan yang tak kunjung padam ) dan avidya ( ketidaktahuan ).[3] Menurut pandangan Agama Buddha, ada 31 alam kehidupan sebagai tempat makhluk hidup ber – tumimbal lahir sebelum mencapai kebahagiaan kekal abadi ( Nirvana ).
Tumimbal lahir makhluk hidup ada empat cara, yaitu :
a.       Jalabuja Yoni   : Makhluk yang lahir dalam kandungan
b.      Andaja Yoni     : Makhluk yang lahir dari telur
c.       Sansedaja Yoni : Makhluk yang lahir dari kelembaban
d.      Opapatika Yoni : Makhluk yang lahir dari secara spontan
Yang tak terpisahkn dari hokum karma adalah kepercayaan terhadap tumimbal lahir. Ini merupakan penjelasan yang di berikan oleh sang Buddha mengenai betapa secara tak terelakan akibat selalu mengikuti sebab. Konsep ini sama pentingnya dengan konsep tentang ketidak kekalan universal.
Menurut sang Buddha, masing – masing benda muncul karena sesuatu yang lain mendahuluinya. Peristiwa material dan mental sama – sama memiliki penyebab, dan rantai kejadian ini bersifat konstan. Hukum tumimbal lahir ini menjelaskan betapa beberapa hal tampaknya memiliki kekekalan sehingga seakan – akan abadi.
Tumimbal lahir menjelaskan suatu jalan tengah di antara kedua hal yang bertentangan tersebut. Segala sesuatu memiliki eksistensi tetapi tidak abadi. Bahwa kita ada memang bukan ilusi ; bahwa kita abadi dan memilki inti diri yang terpisah dari yang ilusi. Ketika kita melupakan tumimbal lahir, sabda Sang Buddha, maka kita menderita, sedangkan mengingat kebenarannya akan membuat penderitaan kita berakhir.
Tumimbal lahir merupakan sarana bagi sang Buddha untuk mengajarkan kepada pengikutnya bahwa mereka adalah penunjuk keberuntungan mereka sendiri. Beliau membelokan pertanyaan metafisis tentang hal yang tak bisa diketahui untuk hanya berurusan dengan hal – hal yang jelas memiliki manifestasi seperti adanya ketidaktahuan di dalam dunia, tak peduli apapun yang menyebabkannya.
Jumlah yang sebenarnya dari tumimbal lahir seperti diungkapkan oleh Sang Buddha sebenarnya bervariasi di dalam berbagai subjek wacananya. Namun secara umum ditampilkan 12 hal ( 12 mata rantai saling bergantungan ) yang dianggap telah mewakili ajarannya.
1.      Ketidaktahuan
Dari ketidaktahuan, munculah penderitaan dan roda kejadian. Hal ini menghasilkan pengindraan yang salah mengenai diri atau ego yang terikat pada kehidupan. Ketidaktahuan memisahkan kita dari dunia dan merupakan akar dari perbuatan kita.
2.      Kecenderungan
Dari ketidaktahuan, muncul pula kecenderungan dari dalam yang bisa digolongkan sebagai baik atau buruk. Kecenderungan dari dalam terhadap aspirasi spiritual mungkin menghasilkan kelahiran yang memberikan kesempatan terhadap peningkatan. Kecenderungan dari dalam terhadap nafsu kekayaan mungkin menyebabkan kelahiran kembali di dalam keluarga yang kaya.
3.      Kesadaran
Dari kegiatan yang memiliki tujuan, muncullah kesadaran. Kesadaran tetap ada setelah kematian tubuh fisik, indra, dan persepsi. Dari kesadaran muncul kelahiran baru, kecuali kalau kesadaran itu berakhir dengan pembebasan pada saat kematian. Kesadaran diri adalah penyebab kelahiran kembali ( reinkarnasi ).
4.      Nama dan Bentuk
Dari kesadaran muncul nama – nama dan bentuk – bentuk.
Suatu objek adalah konsep yang tanpa makna kalau tak mempunyai kaitan dengan suatu objek, keduanya saling ketergantungan.
5.      Pengindraan
Dari nama, bentuk, dan kesadaran muncul enam indra ( Buddhis ) : penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, penyentuhan dan aktivitas mental.


6.      Kontak
Dari enam indra muncul organ eksternal yang digunakan untuk berhubungan dengan dunia luar.
7.      Perasaan
Dari kontak dengan hal – hal eksternal / aktivitas mental, muncul perasaan dan emosi.
8.      Idaman atau Kerinduan
Idaman menciptakan persepsi, agregat kelima,atau khandha, salah satu dari lima unsure manifestasi, yang semuanya menyebabkan kelahiran kembali. Penderitaan lenyap begitu idaman disingkirkan.
9.      Keterikatan
Muncul keterikatan kepada gagasan atau objek di dunia dan anggapan mengenai apa yang kita rasakan dari itu.
10.  Keberadaan
Datang – untuk – ada muncul dari kumpulan unsure – unsure makhluk yang diciptakan oleh idaman dan keterikatan kita.
11.  Kelahiran kembali ( reinkarnasi )
Dari ada, atau datang –untuk – ada, muncullah kelahiran kembali yang sebenarnya berada di dalam ketidaktahuan dan putaran roda Dharma lainnya. Hanya kesadaran akan nirvana yang dapat membebaskan kita.
12.  Usia Tua dan Kematian
Dari kelahiran kembali, muncullah penderitaan terhadap berbagai pengalaman duniawi, kesedihan, usia tua, dan kematian. Dari ketidaktahuan, kita mengakumulasikan agregat dan karma tanpa akhir yang menyebabkan kelahiran kembali hingga kita mencapai pembebasan dari roda kejadian.

E.     Nibbana
Nibbana adalah kebahagiaan tertinggi, suatu keadaan kebahagiaan abadi yang luar biasa. Kebahagiaan nibbana tidak dapat dialami dengan memanjakan indera,tetapi dengan menenangkannya. Nibbana adalah tujuan akhir ajaran Buddha. Nibbana dapat dicapai dalam hidup sekarang atau dapat pula dicapai setelah mati.
Nibbana yang dicapai semasa hidup di dalam dunia ini, masih mengandung sisa – sisa kelompok kehidupan yang masih ada, seperti yang dicapai oleh YMS Buddha Gotama di dalam kehidupannya di dunia ini.
Demikian pula halnya dengan Siddharta Gotama, yang terlahir sebagai putera raja Suddhodana, harus akhirnya wafat, meskipun beliau telah menjadi Buddha dan telah mencapai Nibbana dalam kehidupannya. Inilah yang dimaksud dengan nibbana yang dicapai masih mengandung sisa – sisa kelima kelompok kehidupan yang masih ada.
Kemudian  setelah YMS Buddha Gotama wafat, maka beliau telah mencapai nibbana yang tidak lagi mengandung sisa – sisa kelima kelompok kehidupan. Beliau telah bebas dari kelahiran, penderitaan, umur tua dan kematian dan telah hidup dalam kebahagiaan yang kekal nan abadi.
Jadi nibbana atau nirvana itu dibagi atas dua bagian yaitu :
1.      Nibbana yang masih mengandung sisa – sisa kelima kelompok kehidupan yang masih ada dan ini dicapai dalam kehidupan di dunia ini atau dalam kata Pali disebut SA UPADISESA NIBBANA.
2.      Nibbana yang tidak mengandung sisa – sisa kelima kelompok kehidupan, yang dicapai setelah meninggal dunia atau dalam kata Pali disebut AN UPADISESA NIBBANA.
a.      Delapan Ruas Jalan Utama
Sifat nibbana adalah Esa dan tidak diciptakan, mengandung ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi nibbana itu harus dicapai dengan melaksanakan delapan ruas jalan utama.[4]
Bodhisattva pangeran Siddharta Gotama, melalui pengalaman – pengalamannya sendiri telah menemukan jalan tengah yang telah menghasilkan pandangan dan pengetahuan yang membawa beliau ke ketenangan, pengertian benar, kesadaran agung dan nibbana.
Pada hakekatnya seluruh ajaran YMS Buddha Gotama, yang disiarkannya sendiri untuk 45 tahun lamanya. Beliau telah menerangkan dalam berbagai cara, dengan memakai aneka perkataan kepada bermacam – macam orang, sesuai dengan tingkatan pengetahuan masing – masing dan kesanggupan mereka untuk mengerti dalam mengikuti beliau.
Sari dari ribuan sutta dalam kitab suci agama Buddha adalah mengenai delapan ruas jalan utama. Sangat diharapkan sekali jangan sampai disalah tafsirkan, bahwa ruas jalan ( Magganga ) ini harus dilaksanakan menurut nomor urutan dari susunan yang kesatu sampai yang kedelapan.
Tetapi sedikit banyaknya harus dipertimbangkan bersama – sama, tentu saja tergantung dengan keadaan dan kesanggupan tiap – tiap orang. Karena ruas – ruas jalan itu sebenarnya satu sama lain saling bergantungan dan saling bantu membantu.
Maka delapan ruas jalan utama atau jalan tengah itu lazim dibagi dalam tiga golongan yang lebih besar, yaitu :
a.       Sila : Tata hidup yang susila dan beradab
b.      Samadhi : Pembinaan disiplin mental
c.       Panna     : Kebijaksanaan / kebijaksanaan luhur
b.      Yang Lenyap di Nibbana
Orang yang telah mencapai nibbana dapat disebut “ orang yang sempurna “ seperti YMS Buddha Gotama. Orang yang sempurna telah membuang semua ikatan terhadap jasmaninya perasaannya, pencerapannya, bentuk – bentuk pikirannya dan kesadarannya sampai ke akar – akarnya dan selanjutnya tidak dilahirkan kembali dalam kehidupan.
Sekarang orang sempurna telah wafat, telah bebas dari ikatan badan jasmaninya, perasaanya, bentuk pikirannya dan kesadarannya. Demikianlah orang yang sempurna merupakan badannya Dhamma dan bersatu dengan Sanghyang Adi Buddha.
c.       Orang yang telah mencapai Nibbana bebas dari lahir, derita, umur tua, dan mati ; lobha, dosa dan moha.
Tiada lagi penderitaan bagi mereka yang telah mencapai nibbana, yang telah terbebas dari penderitaan, yang telah membebaskan diri dari segala ikatan nafsu. Manusia yang demikian tidak lagi terikat oleh lingkaran Tumimbal Lahir dan kematian.
Cita – cita semua umat budha, pertama – tama ialah untuk mencapai tingkat kesucian, untuk menjadi manusia manusia suci atau arahat, atau menjadi Bodhisattva untuk mencapai tingkat ke – Buddha –an dan Nibbana.
Mereka yang mencapai kebahagiaan Nibbana dapat mengalaminya selama sisa keberadaan mereka sebagi manusia. Nibbana tidak terkondisi, tidak relatif, atau tidak saling ketergantungan, jadi tiada lain bahwa Nibbana adalah kebenaran Mutlak.


Daftar Pustaka
1.      Sumantri, M.U, kebahagiaan dalam Dhamma, Majelis Budhayana Indonesia,1980
2.      Stokes,Gilian, Budha : Seri Siapa Dia?, Jakarta : Erlangga,2001
3.      Dhamananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, Yayasan Pustaka Karaniya, 2005
4.      Panjika, Rampaian Dhamma, Vihara Buddha Metta, Jakarta,2004
5.      Maha Pandita Sumedha Widyadharma, Dhamma Sari, Jakarta : Yayasan Kanthaka Kencana,1980


[1] M.U Sumantri, kebahagiaan dalam Dhamma, hal.225
[2] Panjika, Rampaian Dhamma, hal.61
[3] Gilian Stokes,  Buddha : Seri Siapa Dia ? hal. 67
[4]  M.U Sumantri, kebahagiaan dalam Dhamma, hal.136

Tidak ada komentar:

Posting Komentar