Makalah
Ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Agama Buddha
Dosen
pembimbing : 1. Drs. H. Roswen Dja’far
2. Hj.
Siti Nadroh, M.Ag
3. Saeful Azmi, M.Ag
Oleh
:
Iis Solihah : 1110032100025
Firdan
Bagus Prangesta : 1110032100016
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
2012
Pendahuluan
Bila
manusia berada dalam Dhamma, ia akan dapat melepaskan dirinya dari penderitaan
dan akan mencapai Nibbana, yang merupakan akhir semua derita. Nibbana tidak
dapat dicapai dengan cara sembahyang, mengadakan upacara – upacara atau memohon
kepada para dewa. Akhir derita hanya dapat dicapai dengan meningkatkan
perkembangan bathin.
Perkembangan
bathin ini hanya dapat terjadi dengan jalan berbuat kebajikan, mengendalikan
pikiran dan menyucikan bathin, sehingga dapat menaklukan badai di hati serta
mengembangkan cinta kasih dan kasih sayang dalam dirinya kepada semua makhluk.
Dengan
demikian, Buddha Dhamma adalah agama yang pada hakekatnya mengajarkan hokum –
hokum abadi, pelajaran tata susila yang mulia, ajaran agama yang mengandung
faham – faham filsafat yang mendalam, yang merupakan keseluruhan yang tak dapat
dipisah – pisahkan.
Buddha
Dhamma memberikan pada para penganutnya suatu pandangan tentang hokum abadi,
yaitu hokum – hokum alam semesta sebagai kekuatan yang menguasai dan
mengaturnya.
A.
Hukum
Kesunyataan
1. Pengertian
Hukum Kesunyataan
Hukum
kesunyataan berarti hokum abadi yang berlaku dimana – mana, mengatasi waktu dan
tempat serta keadaan. Ini berarti bahwa hokum kesunyataan bersifat kekal dan
abadi sepanjang masa yang berlaku di semua tempat, di dalam keadaan / kondisi
di setiap waktu.
Hokum
kesunyataan berbeda dengan hokum yang dibuat oleh manusia, karena hokum yang
dibuat oleh manusia sifatnya tidak kekal dan tidak dapat mengatasi waktu,
tempat dan keadaan. Jadi berlainan sekali dengan hokum kesunyataan yang dibuat
oleh yang kekal dan abadi yaitu Sanghyang Adi Buddha.
Kata
kesunyataan ialah berasal dari bahasa sanskerta SUNYATA atau bahasa pali
SUNNATA yang berarti jalan pikiran ( konsepsi ) yang tidak dapat dibentangkan
dengan kata – kata manusia, hanya dapat ditembus dengan pandangan terang. Kata
sunyata adalah dari kata SUNYA / SUNNA
artinya pencirian segala sesuatu yang kosong dari definisi yang tepat :
“
Tidak dapat disebut kosong atau tidak kosong atau kedua – duanya atau bukan ke
dua – duanya, tetapi untuk mencirikannya disebut saja Sunya / Sunna.” (
Madhyanika Shastra XV )
2. Empat
Macam Hukum Kesunyataan
Banyak
tempat yang tidak terhitung lagi jumlahnya, ajaran tersebut dibentangkan dan
diterangkan berulang – ulang kali dengan
lebih banyak perincian dan dengan berbagai – bagai cara, sehingga dapat dikenal
adanya empat hokum kesunyataan yaitu :
a. Cattari
Ariya Saccani artinya empat kebenaran mulia / empat kesunyataan.
b. Kamma
artinya sebab – akibat perbuatan dan punabbhava artinya kelahiran kembali atau
tumimbal lahir.
c. Tilakhana
artinya tiga corak umum dan pancakhandha artinya lima kelompok kehidupan atau
yang disebut manusia.
d. Pattica
Samuppada artinya pokok permulaan sebab akibat yang saling bergantungan.
Empat
kesunyataan Suci tersebut adalah :
1. Kesunyataan
Tentang Dukkha atau Dukkha Ariya Sacca
-
Kelahiran, usia lanjut dan kematian
adalah dukkha
-
Timbulnya kesedihan, kesakitan,
kesengsaraan, putus asa adalah dukkha
-
Keinginan yang tak tercapai adalah
dukkha
-
Kehilangan sesuatu yang dicintai /
disukai
-
Masih banyak lagi lain – lainnya yang
menimbulkan dukkha
2. Kesunyataan
Tentang Asal Mula Dukkha
Dukkha
disebabkan adanya napsu keinginan, kehausan, kerinduan ( tanha ) yang
berhubungan dengan kenikmatan indrinya dan pikiran untuk terus mempertahankannya,
atau menolak sesuatu yang tidak disukai / dicintai dan hal ini mengakibatkan
timbulnya proses tumimbal lahir.
3. Kesunyataan
Tentang Lenyapnya Dukkha
-
Dukkha hanya dapat lenyap dengan
padamnya arus kekotoran bathin, yang berarti terhentinya proses tumimbal lahir
dan tercapainya Nibbana.
-
Selama perasaan, pikiran dan perbuatan
kita tidak dibiarkan bekerja terus sampai melalui batas – batas kemampuan, maka
selama itu pula kita dapat terbebas dari segala penderitaan atau dukkha.
4. Kesunyataan
Tentang Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha
-
Harus memiliki pandangan yang benar
-
Harus memiliki pikiran yang benar
-
Harus memiliki ucapan yang benar
-
Harus memiliki perbuatan yang benar
-
Harus memiliki mata pencaharian yang
benar
-
Harus memiliki daya upaya yang benar
-
Harus memiliki perhatian yang benar
-
Harus memiliki konsentarasi yang benar
B. Tilakkhana
Tilakkhana
artinya Tiga Corak yang universil dan ini termasuk Hukum kesunyataan, berarti
bahwa hokum ini berlaku di mana – mana dan pada setiap waktu. Jadi Hukum ini
tidak terikat oleh waktu dan tempat.[1]
a.
Sabbe Sankhara Anicca
Segala
sesuatu dalam alam semesta ini, yang terdiri dari paduan unsure – unsure adalah
tidak kekal dan sebagai umat Buddha melihat segala sesuatu dalam alam semesta
ini tidak lain sebagai sesuatu proses yang selalu dalam keadaan bergerak.
b.
Sabbe Sankhara Dukkha
Apa
yang tidak kekal itu adalah tidak memuaskan dan oleh karenanya adalah
penderitaan.
c.
Sabbe Dhamma Anatta
Segala
sesuatu yang bersyarat maupun yang tidak bersyarat ( Nibbana ) adalah tanpa
inti yang kekal, karena tanpa pemilik dan juga tidak dapat dikuasai.
Disamping
paham Anatta yang khas ajaran YMS Buddha Gotama, terdapat pula dua paham
lainnya yaitu :
1.
Attavada, ialah paham bahwa atma ( roh )
adalah kekal abadi dan akan berlangsung sepanjang masa. Paham ini tidak
dibenarkan oleh YMS Buddha Gotama.
2.
Ucchedavada, ialah paham bahwa setelah
mati atma ( roh ) itu pun akan ikut lenyap. Paham ini juga tidak dibenarkan
oleh YMS Buddha Gotama.
Tiga
Corak Umum Yaitu : Anicca, Dukkha dan Anatta
a. Anicca ( Ketidak kekalan )
Kata anicca berarti Tidak kekal, yaitu segala
sesuatu yang ada di alam semesta ini terus menerus mengalami perubahan. Terdapatlah
dua factor, yaitu pembentukan ( uppada ) dan penghancuran ( nirodha ) yang
berlangsung terus menerus, yang tidak pernah berhenti walau sekejap pun.
Di
dalam kitab suci Tipitaka mengatakan, bilamana seorang telah menebus
kesunyataan atau Dhamma, ia akan menyadari, segala sesuatu yang terbentuk pasti
akan lenyap kembali.
b. Dukkha ( Derita Jasmani Rohani )
Pembahasan
yang kedua dari Tilakkhana atau tiga corak umum, ialah tentang kenyataan dari
Dukka atau penderitaan, merupakan corak yang khas dari semua kehidupan (
samsara ), yaitu tentang ketidakpuasan pada umumnya.
Arti
istilah Dukkha yang dimaksudkan dalam pandangan di bidang filsafat umum, adalah
suatu perasaan atau pikiran yang tidak puas, yang timbul karena tidak
tercapainya suatu keinginan atau yang timbul karena perubahan – perubahan yang senantiasa terjadi di dalam diri maupun
diluar diri kita.
Menurut
YMS Buddha Gotama, bahwa permulaan, kelangsungan dan pengakhiran dari suatu
keadaan yaitu seluruh alam ( loka ) dari setiap makhluk hidup, adalah berpusat
pada pribadinya sendiri, yakni kelima kelompok kehidupan merupakan pribadi,
yaitu terdiri atas jasmani, perasaan, pencerapan, sankhara ( bentuk pikiran )
dan kesadaran. Jelas bahwa bentuk jasmani adalah salah satu unsure pribadi yang
dapat dilihat.
Yang
menimbulkan Dukkha menurut Hukum Paticca Sammuppada yaitu :
1. Tanha
Diikuti Oleh Upadana
Tanha yaiu keinginan atau kehausan atau
kerinduan, dan upadana yaitu kemelekatan
atau ikatan untuk mencapai sesuatu yang di inginkannya.
2. Upadana
Diikuti oleh Bhava
Bhava sesungguhnya yang berarti
terbentuk dan disini diartikan sebagai terbentuknya proses kehidupan kita. Maka
bergantung kepada Upadana terbentuknya proses kehidupan kita.
3. Bhava
Diikuti oleh Jati, Jaramarana
Jika Bhava ( proses kehidupan atau arus
penjelmaan ) ini terbentuk, maka timbullah kelahiran, usia tua, kematian,
mengalami kesuksesan atau kegagalan, dengan demikian timbulah segala macam
penderitaan.
c. Anatta ( Tak ada inti yang kekal /
Tanpa Aku )
Anatta
ini, adalah suatu corak yang universal, yang meliputi semua keadaan dari bentuk
– bentuk jasmani dan rohani.
Untuk
lebih jelasnya, marilah kita hubungkan beberapa masalah dengan Anatta :
1. Substansi
Zat
Sebuah cincin, piala, atau
sebuah mata uang kesemuanya adalah perwujudan daripada logam emas yang sama
misalnya. Logamnya tetap emas tidak berubah didalam semua perwujudan itu.
Demikianlah maka perubahan justru mengharuskan adanya sesuatu yang tinggal
tetap dan tak berubah.
2. Aku
– Diri – Ego
Jika anggapan suatu “
DIRI “ yang kekal harus diterima untuk menerangkan adanya identitas, maka
anggapan itu tentu harus berlaku untuk apapun juga, untuk menerangkan adanya
identitas di tengah – tengah arus perubahan.
3. Yang
sama atau berbeda
Secara kasar kita dapat
mengumpamakan manusia sebagai sebuah pelita, dengan kesadarannya atau citta
sebagai nyala apinya, yang mengalami prosesnya sendiri dalam suatu arus yang
mengalir terus menerus. Perumpamaan ini tidak berarti, bahwa jasmani tetap dan
tidak berubah, melainkan mengalami pula proses perubahannya sendiri.
4. Apakah
manusia itu
Misalnya : apakah yang
disebut kereta ? dan apakah pula yang dimaksudkan bila kita mengatakan kereta ?
Di dalam sebuah kereta tidak terdapat suatu inti atau rangka, kendali, jari –
jari, sumbu dan banyak lagi bagian – bagian lainnya. Bila terpisah dari bagian
– bagian tersebut, tidak terdapat sesuatu apapun yang dapat dinamakan “ kereta
“ karena yang dinamakan kereta adalah mencakup semua bagian – bagian yang
membentuknya.
5. Pancakkhandha
atau lima kelompok kehidupan
Contoh : kata – kata “
saya berpidato “ dan kata “ saya “ tidak dimaksudkan untuk jasmani ataupun
rohani kita secara terpisah – pisah, melainkan untuk paduan kerjasama daripada
kedua – duanya. Lidah ( jasmani ) adalah tidak dapat bepidato tanpa adanya
rohani yang berpikir, sedangkan rohani tidak dapat berpidato tanpa adanya
lidah. Berpidato hanya mungkin dapat dilakukan, jika lidah ( jasmani ) dan
pikiran ( rohani ) kedua – duanya bekerjasama merupakan satu kesatuan.
6. Tumimbal
Lahir ( kelahiran kembali )
Tidak ada sesuatu yang
keluar dari tubuh seseorang yang meninggal dan memasuki seorang bayi ; akan
tetapi kedua kehidupan itu haruslah dipandang sebagai satu rangkaian “ tanha
“ dan “ upadana “ dimana yang satu
menimbulkan yang lain.
7. Prinsip
yang menggerakan hidup
Tidak terdapat sesuatu
“ Diri “ atau “ Atta “ karena pribadi kita terbentuk menurut keadaan jiwa kita,
yang senantiasa bergerak dan berubah yang bergantungan kepada kita sendiri
untuk membentuk dan mengembangkannya.
8. Keadaan
bathin atau jiwa atau rohani
Bilamana ketika kita
berada di jalanan kita berjumpa dengan seekor gajah yang melintas maka ingatan
ini akan lama melekat di dalam pikiran kita, sehingga kita jauh berjalan ;
sedangkan bilamana kita bejumpa dengan orang biasa, yang tidak mempunyai
keistimewaan apapun juga, maka kita akan cepat melupakannya, begitu orang itu
lewat dari pandangan kita.
9. Apa
yang dilupakan tidak lenyap sama sekali
Sekalipun cepat atau
lambat kita akan melupakan segala sesuatu yang kita sadari, akan tetapi
pengalaman-pengalaman itu tetap tinggal dalam bathin kita. Segala sesuatu yang
dilupakan, seolah-olah disimpan dalam bathin kita dan bathin kita merupakan
suatu gudang yang besar serta menakjubkan. Dimana segala pengalaman-pengalaman,
kesan-kesan dan pikiran-pikiran yang kita terima sejak saat permulaan
dilahirkan disimpan dan disusun pada tempatnya masing-masing. Segala sesuatu
yang kita rasakan, yang kita pikirkan dan yang kita lakukan tetap tinggal
disana.
10. Bawah
sadar kita sanga giat bekerjanya
Diluar bathin kita yang
terdiri dari bagian sadar dan bawah
sadar itu, tidaklah terdapat sesuatu yang gaib seperti ego atau atta. Watak
kita ditentukan oleh bawah sadar kita sendiri. Seseorang berwatak baik jika
bawah sadarnya penuh dengan kesan – kesan dan pikiran – pikiran yang baik, dan
seseorang yang berwatak jahat jika bawah sadarnya yang berwatak jahat, jika
bawah sadarnya penuh dengan keburukan – keburukan dan kejahatan – kejahatan.
Bawah sadar itu mengandung segala – galanya yang pernah kita alami di masa yang
lampau, yaitu di dalam kehidupan kita yang lampau. Dari uraian diatas jelas
bahwa ketiga pengertian dari Anicca, Dukkha, Anatta adalah merupakan tiga batu
pilar dari semua bangunan agama Buddha.
C.
Pattica
Samuppada
1. Bunyi
hokum Pattica Samuppada
Perkataan pattica samuppada terdiri atas : Pattica
artinya disyaratkan dan kata Samuppada artinya muncul bersamaan. Jadi perkataan
pattica samuppada artinya kurang lebih yaitu muncul bersamaan karena syarat
berantai, atau terjemahan yang sering terlihat dalam buku – buku, yaitu Pokok
permulaan sebab akibat yang saling bergantungan.
Prinsip dari ajaran hokum pattica
samuppada diberikan dalam empat rumus / formula pendek yang berbunyi sebagai
berikut :
1. Imasming
sati idang hoti
Dengan adanya ini, maka terjadilah itu.
2. Imassupada
idang uppajjati
Dengan timbulnya ini, maka timbullah itu
3. Imasming
asati idang na hoti
Dengan tidak adanya ini, maka tidak
adalah itu
4. Imassa
nirodha idang nirujjati
Dengan terhentinya ini, maka terhentilah
juga itu
Berdasarkan prinsip
dari saling menjadikan relativitas, dan saling bergantungan, maka seluruh
kelangsungan dan kelanjutan hidup, dan juga berhentinya hidup telah diterangkan
dalam satu rumus / formula dari dua belas pokok yang dikenal sebagai pattica
samuppada.
Kedua belas pokok itu berbunyi sebagai
berikut :
1. Avijja
paccaya sankhara
Dengan adanya ketidaktahuan, maka
terjadilah benuk – bentuk kamma.
2. Sankhara
paccaya vinnanang
Dengan adanya bentuk – bentuk kamma,
maka terjadilah kesadaran.
3. Vinnana
paccaya namarupang
Dengan adanya kesadaran, maka terjadilah
rohani – jasmani.
4. Namarupa
paccaya salayatanang
Dengan adanya rohani – jasmani, maka
terjadilah enam landasan indriya.
5. Salayatana
paccaya phasso
Dengan adanya enam landasan indriya,
maka terjadilah kontak / kesan – kesan.
6. Phassa
paccaya vedana
Dengan adanya kontak / kesan, maka
terjadilah perasaan.
7. Vedana
paccaya tanha
Dengan adanya perasaan, maka terjadilah
keinginan / kehausan.
8. Tanha
paccaya upadanang
Dengan adanya tanha, maka terjadilah
kemelekatan.
9. Upadana
paccaya bhavo
Dengan adanya kemelekatan, maka
terjadilah proses penjelmaan.
10. Bhava
paccaya jati
Dengan adanya proses penjelmaan, maka
terjadilah kelahiran.
11. Jati
paccaya jaramaranang
Dengan adanya tumimbal lahir, maka
terjadilah kelapukan, keluh kesah, sakit, kematian dll.
12. Jara
marana
Kelapukan, keluh kesah, sakit, kematian
dll, sebagai akibat dari tumimbal lahir.
Beginilah kehidupan timbul, berlangsung
dan bersambung terus. Jika kita ambil rumus tersebut dalam arti yang
sebaliknya, maka sampailah kepada penghentian dari proses itu. Pattica
samuppada ini adalah merupakan obyek dasar dari Vipassana Bhavana termasuk
salah satu obyek dari keenam obyek dasar vipassana bhavana, yaitu[2] :
a. Khadha
5 / Pancakkhandha
b. Dhatu
18
c. Ayatana
12
d. Indriya
22
e. Pattica
samuppada
f. Ariya
Sacca / Cattari ariya saccani
2. Pattica
Samuppada Bersifat Ilmiah
Pokok permulaan sebab akibat yang saling bergantungan atau
muncul bersamaan karena syarat – syarat yang salaing bergantungan yang dapa
dinyatakan dengan ; “ Bergantung kepada ini maka timbullah itu, atau oleh
karena adanya ini maka itupun ada. Seluruh alam semesta ini dikuasai oleh hokum
Paticca samuppada.
Hukum paticca samuppada
ini adalah tidak sama dengan hokum sebab akibat dari Aristoteles, seorang
filsuf abad ke lima Sebelum Masehi. Menurut hokum Paticca Samuppada, bahwa dua
kejadian itu tidak dapat dianggap terpisah secara tegas satu dari yang lainnya,
oleh karena keduanya itu merupakan mata rantai yang berurutan didalam suatu
proses yang tidak mengenal sela – sela ( batas ).
Tiada sesuatu kejadian
di alam semesa ini yang berdiri sendiri secara mulak. Sesuatu sebab tidak
mungkin berdiri sendiri tanpa ada bersama – sama dengan akibatnya.
Penggunaan Hukum
paticca samuppada untuk menjelaskan adanya derita, dimana YMS Buddha Gotama
merenungkan sebab musabab daripada kematian, kelapukan, dan kesengsaraan.
Berbeda sekali dengan penjelasan dari orang – orang lainnya, yang masih banyak
diliputi ketahayulan, dan Beliau tidak percaya bahwa penderitaan manusia
disebabkan oleh karena murkanya dewa – dewa yang bermacam – macam.
Beliau mempergunakan akal pikiran, sehingga
penyelidikan – penyelidikannya bersifat ilmiah. Kemudian dicobanya untuk
mencari sebab musabab penderitaan manusia berdasarkan hokum paticca samuppada.
Rumusan
keseluruhan hokum pattica Samuppada itu diringkas sebagi berikut :
“ Dengan adanya ini,
adalah itu, dengan timbulnya ini, timbula itu. Dengan tidak adanya ini, tidak
adalah itu, dengan lenyapnya ini, lenyaplah itu.”
D.
Tumimbal
Lahir
Tumimbal
lahir adalah hokum kelahiran kembali. Semua makhluk akan terus dilahirkan
kembali di berbagai alam kehidupan ( sesuai dengan karmanya masing – masing )
selama masih di cengkeram oleh tanha ( nafsu keinginan yang tak kunjung padam )
dan avidya ( ketidaktahuan ).[3]
Menurut pandangan Agama Buddha, ada 31 alam kehidupan sebagai tempat makhluk
hidup ber – tumimbal lahir sebelum mencapai kebahagiaan kekal abadi ( Nirvana
).
Tumimbal
lahir makhluk hidup ada empat cara, yaitu :
a. Jalabuja
Yoni : Makhluk yang lahir dalam kandungan
b. Andaja
Yoni : Makhluk yang lahir dari telur
c. Sansedaja
Yoni : Makhluk yang lahir dari kelembaban
d. Opapatika
Yoni : Makhluk yang lahir dari secara spontan
Yang
tak terpisahkn dari hokum karma adalah kepercayaan terhadap tumimbal lahir. Ini
merupakan penjelasan yang di berikan oleh sang Buddha mengenai betapa secara
tak terelakan akibat selalu mengikuti sebab. Konsep ini sama pentingnya dengan
konsep tentang ketidak kekalan universal.
Menurut
sang Buddha, masing – masing benda muncul karena sesuatu yang lain
mendahuluinya. Peristiwa material dan mental sama – sama memiliki penyebab, dan
rantai kejadian ini bersifat konstan. Hukum tumimbal lahir ini menjelaskan
betapa beberapa hal tampaknya memiliki kekekalan sehingga seakan – akan abadi.
Tumimbal
lahir menjelaskan suatu jalan tengah di antara kedua hal yang bertentangan
tersebut. Segala sesuatu memiliki eksistensi tetapi tidak abadi. Bahwa kita ada
memang bukan ilusi ; bahwa kita abadi dan memilki inti diri yang terpisah dari
yang ilusi. Ketika kita melupakan tumimbal lahir, sabda Sang Buddha, maka kita
menderita, sedangkan mengingat kebenarannya akan membuat penderitaan kita
berakhir.
Tumimbal
lahir merupakan sarana bagi sang Buddha untuk mengajarkan kepada pengikutnya
bahwa mereka adalah penunjuk keberuntungan mereka sendiri. Beliau membelokan
pertanyaan metafisis tentang hal yang tak bisa diketahui untuk hanya berurusan
dengan hal – hal yang jelas memiliki manifestasi seperti adanya ketidaktahuan
di dalam dunia, tak peduli apapun yang menyebabkannya.
Jumlah
yang sebenarnya dari tumimbal lahir seperti diungkapkan oleh Sang Buddha
sebenarnya bervariasi di dalam berbagai subjek wacananya. Namun secara umum
ditampilkan 12 hal ( 12 mata rantai saling bergantungan ) yang dianggap telah
mewakili ajarannya.
1. Ketidaktahuan
Dari ketidaktahuan, munculah penderitaan
dan roda kejadian. Hal ini menghasilkan pengindraan yang salah mengenai diri
atau ego yang terikat pada kehidupan. Ketidaktahuan memisahkan kita dari dunia
dan merupakan akar dari perbuatan kita.
2. Kecenderungan
Dari ketidaktahuan, muncul pula
kecenderungan dari dalam yang bisa digolongkan sebagai baik atau buruk.
Kecenderungan dari dalam terhadap aspirasi spiritual mungkin menghasilkan kelahiran
yang memberikan kesempatan terhadap peningkatan. Kecenderungan dari dalam
terhadap nafsu kekayaan mungkin menyebabkan kelahiran kembali di dalam keluarga
yang kaya.
3. Kesadaran
Dari kegiatan yang memiliki tujuan,
muncullah kesadaran. Kesadaran tetap ada setelah kematian tubuh fisik, indra,
dan persepsi. Dari kesadaran muncul kelahiran baru, kecuali kalau kesadaran itu
berakhir dengan pembebasan pada saat kematian. Kesadaran diri adalah penyebab
kelahiran kembali ( reinkarnasi ).
4. Nama
dan Bentuk
Dari kesadaran muncul nama – nama dan
bentuk – bentuk.
Suatu objek adalah konsep yang tanpa
makna kalau tak mempunyai kaitan dengan suatu objek, keduanya saling
ketergantungan.
5. Pengindraan
Dari nama, bentuk, dan kesadaran muncul
enam indra ( Buddhis ) : penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan,
penyentuhan dan aktivitas mental.
6. Kontak
Dari enam indra muncul organ eksternal
yang digunakan untuk berhubungan dengan dunia luar.
7. Perasaan
Dari kontak dengan hal – hal eksternal /
aktivitas mental, muncul perasaan dan emosi.
8. Idaman
atau Kerinduan
Idaman menciptakan persepsi, agregat
kelima,atau khandha, salah satu dari lima unsure manifestasi, yang semuanya
menyebabkan kelahiran kembali. Penderitaan lenyap begitu idaman disingkirkan.
9. Keterikatan
Muncul keterikatan kepada gagasan atau
objek di dunia dan anggapan mengenai apa yang kita rasakan dari itu.
10. Keberadaan
Datang – untuk – ada muncul dari
kumpulan unsure – unsure makhluk yang diciptakan oleh idaman dan keterikatan
kita.
11. Kelahiran
kembali ( reinkarnasi )
Dari ada, atau datang –untuk – ada,
muncullah kelahiran kembali yang sebenarnya berada di dalam ketidaktahuan dan
putaran roda Dharma lainnya. Hanya kesadaran akan nirvana yang dapat
membebaskan kita.
12. Usia
Tua dan Kematian
Dari kelahiran kembali, muncullah
penderitaan terhadap berbagai pengalaman duniawi, kesedihan, usia tua, dan
kematian. Dari ketidaktahuan, kita mengakumulasikan agregat dan karma tanpa
akhir yang menyebabkan kelahiran kembali hingga kita mencapai pembebasan dari
roda kejadian.
E.
Nibbana
Nibbana
adalah kebahagiaan tertinggi, suatu keadaan kebahagiaan abadi yang luar biasa.
Kebahagiaan nibbana tidak dapat dialami dengan memanjakan indera,tetapi dengan
menenangkannya. Nibbana adalah tujuan akhir ajaran Buddha. Nibbana dapat
dicapai dalam hidup sekarang atau dapat pula dicapai setelah mati.
Nibbana
yang dicapai semasa hidup di dalam dunia ini, masih mengandung sisa – sisa
kelompok kehidupan yang masih ada, seperti yang dicapai oleh YMS Buddha Gotama
di dalam kehidupannya di dunia ini.
Demikian
pula halnya dengan Siddharta Gotama, yang terlahir sebagai putera raja
Suddhodana, harus akhirnya wafat, meskipun beliau telah menjadi Buddha dan
telah mencapai Nibbana dalam kehidupannya. Inilah yang dimaksud dengan nibbana
yang dicapai masih mengandung sisa – sisa kelima kelompok kehidupan yang masih
ada.
Kemudian setelah YMS Buddha Gotama wafat, maka beliau
telah mencapai nibbana yang tidak lagi mengandung sisa – sisa kelima kelompok
kehidupan. Beliau telah bebas dari kelahiran, penderitaan, umur tua dan
kematian dan telah hidup dalam kebahagiaan yang kekal nan abadi.
Jadi
nibbana atau nirvana itu dibagi atas dua bagian yaitu :
1. Nibbana
yang masih mengandung sisa – sisa kelima kelompok kehidupan yang masih ada dan
ini dicapai dalam kehidupan di dunia ini atau dalam kata Pali disebut SA
UPADISESA NIBBANA.
2. Nibbana
yang tidak mengandung sisa – sisa kelima kelompok kehidupan, yang dicapai
setelah meninggal dunia atau dalam kata Pali disebut AN UPADISESA NIBBANA.
a.
Delapan
Ruas Jalan Utama
Sifat nibbana adalah
Esa dan tidak diciptakan, mengandung ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi nibbana
itu harus dicapai dengan melaksanakan delapan ruas jalan utama.[4]
Bodhisattva pangeran Siddharta Gotama,
melalui pengalaman – pengalamannya sendiri telah menemukan jalan tengah yang
telah menghasilkan pandangan dan pengetahuan yang membawa beliau ke ketenangan,
pengertian benar, kesadaran agung dan nibbana.
Pada hakekatnya seluruh
ajaran YMS Buddha Gotama, yang disiarkannya sendiri untuk 45 tahun lamanya.
Beliau telah menerangkan dalam berbagai cara, dengan memakai aneka perkataan
kepada bermacam – macam orang, sesuai dengan tingkatan pengetahuan masing –
masing dan kesanggupan mereka untuk mengerti dalam mengikuti beliau.
Sari dari ribuan sutta
dalam kitab suci agama Buddha adalah mengenai delapan ruas jalan utama. Sangat
diharapkan sekali jangan sampai disalah tafsirkan, bahwa ruas jalan ( Magganga
) ini harus dilaksanakan menurut nomor urutan dari susunan yang kesatu sampai
yang kedelapan.
Tetapi sedikit
banyaknya harus dipertimbangkan bersama – sama, tentu saja tergantung dengan
keadaan dan kesanggupan tiap – tiap orang. Karena ruas – ruas jalan itu
sebenarnya satu sama lain saling bergantungan dan saling bantu membantu.
Maka delapan ruas jalan utama atau jalan
tengah itu lazim dibagi dalam tiga golongan yang lebih besar, yaitu :
a. Sila
: Tata hidup yang susila dan beradab
b. Samadhi
: Pembinaan disiplin mental
c. Panna : Kebijaksanaan / kebijaksanaan luhur
b.
Yang
Lenyap di Nibbana
Orang yang telah mencapai nibbana dapat
disebut “ orang yang sempurna “ seperti YMS Buddha Gotama. Orang yang sempurna
telah membuang semua ikatan terhadap jasmaninya perasaannya, pencerapannya,
bentuk – bentuk pikirannya dan kesadarannya sampai ke akar – akarnya dan
selanjutnya tidak dilahirkan kembali dalam kehidupan.
Sekarang orang sempurna
telah wafat, telah bebas dari ikatan badan jasmaninya, perasaanya, bentuk
pikirannya dan kesadarannya. Demikianlah orang yang sempurna merupakan badannya
Dhamma dan bersatu dengan Sanghyang Adi Buddha.
c.
Orang
yang telah mencapai Nibbana bebas dari lahir, derita, umur tua, dan mati ;
lobha, dosa dan moha.
Tiada lagi penderitaan
bagi mereka yang telah mencapai nibbana, yang telah terbebas dari penderitaan,
yang telah membebaskan diri dari segala ikatan nafsu. Manusia yang demikian
tidak lagi terikat oleh lingkaran Tumimbal Lahir dan kematian.
Cita – cita semua umat
budha, pertama – tama ialah untuk mencapai tingkat kesucian, untuk menjadi
manusia manusia suci atau arahat, atau menjadi Bodhisattva untuk mencapai
tingkat ke – Buddha –an dan Nibbana.
Mereka yang mencapai kebahagiaan Nibbana
dapat mengalaminya selama sisa keberadaan mereka sebagi manusia. Nibbana tidak
terkondisi, tidak relatif, atau tidak saling ketergantungan, jadi tiada lain
bahwa Nibbana adalah kebenaran Mutlak.
Daftar
Pustaka
1. Sumantri,
M.U, kebahagiaan dalam Dhamma,
Majelis Budhayana Indonesia,1980
2. Stokes,Gilian,
Budha : Seri Siapa Dia?, Jakarta :
Erlangga,2001
3. Dhamananda,
Sri, Keyakinan Umat Buddha, Yayasan
Pustaka Karaniya, 2005
4. Panjika,
Rampaian Dhamma, Vihara Buddha Metta,
Jakarta,2004
5. Maha
Pandita Sumedha Widyadharma, Dhamma Sari,
Jakarta : Yayasan Kanthaka Kencana,1980
Tidak ada komentar:
Posting Komentar