Sejarah Tipitaka (Kitab Suci Agama
Buddha)
SEJARAH TIPITAKA
PENDAHULUAN
Sudah menjadi
ketentuan umum bahwa yang menjadi kitab Suci Agama Buddha adalah Tipitaka.
Demikian juga halnya di Indonesia. Hal itu telah ditetapkan dalam kongres umat
Buddha Indonesia di Yogyakarta tahun 1979 yang pada waktu itu dihadiri tujuh
majelis Agama Buddha dan Sangha-Sangha dari aliran Theravãda dan Mahayana
ataupun aliran Theravãda yang berbaur dengan Mahayana. Kitab suci Agama Buddha
(Tipitaka) yang lengkap hanyalah yang berbahasa Pali (bahasa yang dipergunakan
oleh Sang Buddha dan oleh rakyat jelata suku Magadha).
Kitab Suci
Tipitaka dikenal sebagai Kanon Pali (Pali Canon). Kitab suci Agama
Buddha yang paling tua, yang diketahui hingga sekarang, tertulis dalam Bahasa Pali,
yang terbagi dalam tiga kelompok besar (yang disebut sebagai "pitaka"
atau "keranjang") yaitu: Vinaya Pitaka, Sutta
Pitaka, dan Abhidhamma Pitaka. Karena terdiri dari tiga
kelompok tersebut, maka Kitab Suci Agama Buddha dinamakan Tipitaka (Pali).
Selain yang
berbahasa Pali (Tipitaka), ada juga kitab suci Agama Buddha yang menggunakan
Bahasa Sansekerta, yaitu yang disebut Tripitaka, tetapi di antara kedua versi
Pali dan Sansekerta itu pada dewasa ini hanya Kitab Suci Tipitaka (Pali) yang
masih terpelihara secara lengkap, dan Tipitaka (Pali) / Pali Canon ini
pulalah yang merupakan kitab suci bagi Agama Buddha mazhab Theravãda.
SEJARAH TIPITAKA (ringkasan)
Setelah Sang
Buddha parinibbana (543 SM), tiga bulan kemudian diadakan Sidang Agung Sangha (Sangha
Samaya).
SIDANG AGUNG
I (KONSILI I)
Diadakan
pada tahun 543 SM (3 bulan setelah bulan Mei), berlangsung selama 2 bulan.
Dipimpin
oleh YA.Maha Kassapa dan dihadiri oleh 500 orang Bhikkhu yang semuanya Arahat. Sidang
diadakan di Goa Satapani di kota Rajagaha. Sponsor sidang agung ini adalah Raja
Ajatasatu.
Tujuan
Sidang:
· Menghimpun Ajaran Sang
Buddha yang diajarkan kepada orang yang berlainan, di tempat yang berlainan dan
dalam waktu yang berlainan.
· Mengulang Dhamma dan
Vinaya agar Ajaran Sang Buddha tetap murni, kuat, melebihi ajaran-ajaran
lainnya. Y.A. Upali mengulang Vinaya dan Y.A. Ananda mengulang Dhamma.
Kesimpulan/Hasil
Konsili I:
· Sangha tidak akan
menetapkan hal-hal mana yang perlu dihapus dan hal-hal mana yang harus
dilaksanakan, juga tidak akan menambah apa-apa yang telah ada.
· Mengadili Y.A. Ananda
· Mengucilkan Chana
· Agama Buddha masih
utuh.
SIDANG AGUNG
II (KONSILI II)
- Diadakan pada tahun 443 SM (100 tahun sesudah yang I), berlangsung selama 4 bulan.
- Dipimpin oleh YA. Revata dan dibantu oleh YA. Yasa serta dihadiri oleh 700 Bhikkhu.
- Sidang diadakan di Vesali.
- Sponsor sidang agung ini adalah Raja Kalasoka.
Tujuan
Sidang:
· Sekelompok Bhikkhu
Sangha (Mahasanghika) menghendaki untuk memperlunak Vinaya yang sangat
keras (tetapi gagal).
Kesimpulan/Hasil
Konsili II:
· Kesalahan-kesalahan
Bhikkhu-Bhikkhu dari suku Vajjis yang melangggar pacittiya dibicarakan, diakui
bahwa mereka telah melanggar Vinaya dan 700 Bhikkhu yang hadir menyatakan
setuju.
Pengulangan
Vinaya dan Dhamma, yang dikenal dengan nama "Satta Sati" atau
"Yasathera Sanghiti" karena Bhikkhu Yasa dianggap berjasa
dalam bidang pemurnian Vinaya.
SIDANG AGUNG
III (KONSILI III)
- Diadakan pada tahun +/- 313 SM (230 tahun setelah sidang I).
- Dipimpin oleh Y.A. Tissa Moggaliputta.
- Sidang diadakan di Pataliputta.
- Sponsor Sidang Agung ini adalah Raja Asoka dari Suku Mauriya.
Tujuan
Sidang:
· Menertibkan perbedaan
pendapat yang mengaktifkan perpecahan Sangha.
· Memeriksa dan
menyempurnakan Kitab Suci Pali (memurnikan Ajaran Sang Buddha).
· Raja Asoka meminta agar
para Bhikkhu mengadakan upacara Uposatha setiap bulan, agar Bhikkhu Sangha
bersih dari oknum-oknum yang bermaksud tidak baik.
Kesimpulan /
Hasil Konsili III:
· Menghukum
Bhikkhu-Bhikkhu selebor.
· Ajaran Abhidhamma
diulang tersendiri oleh Y.A. Maha Kassapa, sehingga lengkaplah pengertian
Tipitaka (Vinaya,Sutta, dan Abhidhamma). Jadi pengertian Tipitaka mulai lengkap
(timbul) pada Konsili III.
· Y.A. Tissa memilih
10.000 orang Bhikkhu Sangha yang benar-benar telah memahami Ajaran Sang Buddha
untuk menghimpun Ajaran tersebut menjadi Tipitaka dan perhimpunan tersebut
berlangsung selama 9 bulan.
Keterangan:
·
Pada saat itu Sangha sudah terpecah dua, yaitu : Theravãda (Sthaviravada)
dan Mahasanghika. Sementara itu ada ahli sejarah yang mengatakan bahwa
pada Konsili III ini bukan merupakan konsili umum, tetapi hanya merupakan suatu
konsili yang diadakan oleh Sthaviravada.
SIDANG AGUNG
IV (KONSILI IV)
- Diadakan pada masa pemerintahan Raja Vattagamani Abhaya (tahun 101 - 77 SM).
- Dipimpin oleh Y.A. Rakhita Mahathera dan dihadiri oleh +/- 500 Bhikkhu.
- Sidang diadakan di Alu Vihara (Aloka Vihara) di Desa Matale.
Tujuan Sidang:
· Mencari penyelesaian
karena melihat terjadinya kemungkinan-kemungkinan yang mengancam Ajaran-ajaran
dan kebudayaan-kebudayaan Agama Buddha oleh pihak-pihak lain.
Kesimpulan /
Hasil Konsili IV:
· Mengulang Tipitaka.
· Menyempurnakan komentar
Tipitaka.
· Menuliskan Tipitaka dan
komentarnya di atas daun lontar.
Keterangan:
·
Konsili ini diakui sebagai konsili yang ke IV oleh sekte Theravãda.
SEJARAH TIPITAKA (uraian)
Beberapa minggu
setelah Sang Buddha wafat (483 SM) seorang Bhikkhu tua yang tidak disiplin
bernama Subhaddha berkata : "Janganlah bersedih kawan-kawan, janganlah
meratap, sekarang kita terbebas dari Pertapa Agung yang tidak akan lagi
memberitahu kita apa yang sesuai untuk dilakukan dan apa yang tidak, yang
membuat hidup kita menderita, tetapi sekarang kita dapat berbuat apa pun yang
kita senangi dan tidak berbuat apa yang tidak kita senangi" (Vinaya
Pitaka II,284). Maha Kassapa Thera setelah mendengar kata-kata itu
memutuskan untuk mengadakan Pesamuan Agung (Konsili) di Rajagaha.
Dengan bantuan
Raja Ajatasattu dari Magadha, 500 orang Arahat berkumpul di Gua Sattapanni
dekat Rajagaha untuk mengumpulkan ajaran Sang Buddha yang telah dibabarkan
selama ini dan menyusunnya secara sistematis. Yang Ariya Ananda, siswa terdekat
Sang Buddha, mendapat kehormatan untuk mengulang kembali kotbah-kotbah Sang
Buddha dan Yang Ariya Upali mengulang Vinaya (peraturan-peraturan). Dalam
Pesamuan Agung Pertama inilah dikumpulkan seluruh ajaran yang kini dikenal
sebagai Kitab Suci Tipitaka (Pali). Mereka yang mengikuti ajaran Sang Buddha
seperti tersebut dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali) disebut Pemeliharaan
Kemurnian Ajaran sebagaimana sabda Sang Buddha yang terakhir: "Jadikanlah
Dhamma dan Vinaya sebagai pelita dan pelindung bagi dirimu".
Pada mulanya
Tipitaka (Pali) ini diwariskan secara lisan dari satu generasi ke genarasi
berikutnya. Satu abad kemudian terdapat sekelompok Bhikkhu yang berniat hendak
mengubah Vinaya. Menghadapi usaha ini, para Bhikkhu yang ingin mempertahankan
Dhamma - Vinaya sebagaimana diwariskan oleh Sang Buddha Gotama menyelenggarakan
Pesamuan Agung Kedua dengan bantuan Raja Kalasoka di Vesali, di mana isi Kitab
Suci Tipitaka (Pali) diucapkan ulang oleh 700 orang Arahat. Kelompok Bhikkhu
yang memegang teguh kemurnian Dhamma - Vinaya ini menamakan diri Sthaviravada,
yang kelak disebut Theravãda. Sedangkan kelompok Bhikkhu yang ingin mengubah
Vinaya menamakan diri Mahasanghika, yang kelak berkembang menjadi mazhab
Mahayana. Jadi, seabad setelah Sang Buddha Gotama wafat, Agama Buddha terbagi
menjadi 2 mazhab besar Theravãda dan Mahayana.
Pesamuan Agung
Ketiga diadakan di Pattaliputta (Patna) pada abad ketiga sesudah Sang Buddha
wafat (249 SM) dengan pemerintahan di bawah Kaisar Asoka Wardhana. Kaisar ini
memeluk Agama Buddha dan dengan pengaruhnya banyak membantu penyebarkan Dhamma
ke suluruh wilayah kerajaan. Pada masa itu, ribuan gadungan (penyelundup ajaran
gelap) masuk ke dalam Sangha dangan maksud meyebarkan ajaran-ajaran mereka
sendiri untuk meyesatkan umat. Untuk mengakhiri keadaan ini, Kaisar
menyelenggarakan Pesamuan Agung dan membersihkan tubuh Sangha dari
penyelundup-penyelundup serta merencanakan pengiriman para Duta Dhamma ke
negeri-negeri lain.
Dalam Pesamuan
Agung Ketiga ini 100 orang Arahat mengulang kembali pembacaan Kitab Suci
Tipitaka (Pali) selama sembilan bulan. Dari titik tolak Pesamuaan inilah Agama
Buddha dapat tersebar ke suluruh penjuru dunia dan terhindar lenyap dari bumi
asalnya.
Pesamuan Agung
keempat diadakan di Aluvihara (Srilanka) di bawah lindungan Raja Vattagamani
Abhaya pada permulaan abad keenam sesudah Sang Buddha wafat (83 SM). Pada
kesempatan itu Kitab Suci Tipitaka (Pali) dituliskan untuk pertama kalinya.
Tujuan penulisan ini adalah agar semua orang mengetahui kemurnian Dhamma
Vinaya.
Selanjutnya
Pesamuan Agung Kelima diadakan di Mandalay (Burma) pada permulaan abad 25
sesudah Sang Buddha wafat (1871) dengan bantuan Raja Mindon. Kejadian penting
pada waktu itu adalah Kitab Suci Titpitaka (Pali) diprasastikan pada 727 buah
lempengan marmer (batu pualam) dan diletakkan di bukit Mandalay.
Persamuan Agung
keenam diadakan di Rangoon pada hari Visakha Puja tahun Buddhis 2498 dan
berakhir pada tahun Buddhis 2500 (tahun Masehi 1956). Sejak saat itu penterjemahan
Kitab Suci Tipitaka (Pali) dilakukan ke dalam beberapa bahasa Barat.
Sebagai tambahan
pengetahuan dapat dikemukakan bahwa pada abad pertama sesudah Masehi, Raja
Kaniska dari Afganistan mengadakan Pesamuan Agung yang tidak dihadiri oleh
kelompok Theravãda. Bertitik tolak pada Pesamuaan ini, Agama Buddha mazhab
Mahayana berkembang di India dan kemudian meyebar ke negeri Tibet dan Tiongkok.
Pada Pasamuan ini disepakati adanya kitab-kitab suci Buddhis dalam Bahasa
Sansekerta dengan banyak tambahan sutra-sutra baru yang tidak terdapat dalam
Kitab Suci Tipitaka (Pali).
Dengan demikian,
Agama Buddha mazhab Theravãda dalam pertumbuhannya sejak pertama sampai
sekarang, termasuk di Indonesia, tetap mendasarkan penghayatan dan pembabaran
Dhamma - Vinaya pada kemurnian Kitab suci tipitaka (Pali) sehingga dengan
demikian tidak ada perbedaan dalam hal ajaran antara Theravãda di Indonesia
dengan Theravada di Thailand, Srilanka, Burma maupun di negara-negara lain.
Sampai abad
ketiga setelah Sang Buddha wafat mazhab Sthaviravada terpecah menjadi 18 sub
mazhab, antara lain: Sarvastivada, Kasyapiya, Mahisasaka, Theravãda dan
sebagainya. Pada dewasa ini 17 sub mazhab Sthaviravada itu telah lenyap. Yang
masih berkembang sampai sekarang hanyalah mazhab Theravãda (ajaran para
sesepuh). Dengan demikian nama Sthaviravada tidak ada lagi. Mazhab Theravãda
inilah yang kini dianut oleh negara-negara Srilanka, Burma, Thailand, dan
kemudian berkembang di Indonesia dan negara-negara lain.
SKEMA TIPITAKA
URAIAN SINGKAT TIPITAKA
Berikut ini akan
diuraikan secara singkat bagian-bagian dari Kitab Suci Tipitaka Pali.
VINAYA PITAKA
Vinaya Pitaka
berisi hal-hal yang berkenaan dengan peraturan-peraturan bagi para Bhikkhu dan
Bhikkhuni yang terdiri atas 3 bagian:
1.
Sutta Vibhanga
Kitab Sutta
Vibhanga berisi peraturan-peraturan bagi para Bhikkhu dan Bhikkhuni, terdiri
dari:
o
Bhikkhu Vibhanga: berisi 227 peraturan yang mencakup 8 jenis
pelanggaran, diantaranya terdapat 4 pelanggaran yang menyebabkan dikeluarkannya
seorang Bhikkhu dari Sangha dan tidak dapat menjadi Bhikkhu lagi seumur hidup.
Keempat pelanggaran itu, adalah : berhubungan kelamin; mencuri; membunuh atau
menganjurkan orang lain bunuh diri; membanggakan diri secara tidak benar
tentang tingkat-tingkat kesucian atau kekuatan-kekuatan batin luar biasa yang
dicapai. Untuk ketujuh jenis pelanggaran yang lain ditetapkan hukuman dan
pembersihan yang sesuai dengan berat ringannya pelanggaran yang bersangkutan.
o
Bhikkhuni Vibhanga : berisi peraturan-peraturan yang serupa bagi para
Bhikkhuni, hanya jumlahnya lebih banyak.
2.
Khandhaka
Kitab
Khandhaka terbagi atas Mahavagga dan Culavagga.
o
Kitab Mahavagga: berisi peraturan-peraturan dan uraian tentang upacara
pentahbisan Bhikkhu; upacara uposatha pada saat bulan purnama dan bulan baru
dimana dibacakan Patimokha (peraturan disiplin bagi para Bhikkhu); peraturan
tentang tempat tinggal selama musim hujan (vassa); upacara pada akhir vassa (pavarana);
peraturan-peraturan mengenai jubah, peralatan, obat-obatan dan makanan;
pemberian jubah Kathina setiap tahun; peraturan-peraturan bagi para Bhikkhu
yang sakit; peraturan tentang tidur; peraturan tentang bahan jubah; tata cara
melaksanakan Sanghakamma (upacara Sangha); dan tata cara dalam hal terjadi
perpecahan.
o
Kitab Culavagga: berisi peraturan-peraturan untuk menangani
pelanggaran-pelanggaran; tata cara penerimaan kembali seorang Bhikkhu ke dalam
Sangha setelah melakukan pembersihan atas pelanggarannya; tata cara untuk
menangani masalah-masalah yang timbul; berbagai peraturan yang mengatur cara
mandi, pengenaan jubah, menggunakan tempat tinggal, peralatan, tempat bermalam
dan sebagainya; mengenai perpecahan kelompok-kelompok Bhikkhu;
kewajiban-kewajiban guru (acariya) dan calon Bhikkhu (samanera);
pengucilan dari upacara pembacaan Patimokkha; pentahbisan dan bimbingan bagi
Bhikkhuni; kisah mengenai Pasamuan Agung Pertama di Rajagaha; dan kisah
mengenai Pasamuan Agung Kedua di Vesali.
3.
Parivara
Kitab Parivara
memuat ringkasan dan pengelompokan peraturan-peraturan Vinaya, yang disusun
dalam bentuk tanya jawab untuk dipergunakan dalam pengajaran dan ujian.
SUTTA PITAKA
Sutta Pitaka
terdiri atas 5 kumpulan (nikaya) atau buku, yaitu:
1.
Digha Nikaya
Merupakan buku
pertama dari Sutta Pitaka yang terdiri atas 34 Sutta panjang dan terbagi
menjadi 3 vagga (Silakkhandhagga, Mahavagga, Patikavagga).
Beberapa di antara Sutta-sutta yang terkenal adalah:
o
Bramajala Sutta: "Jala para Brahma" Sang Buddha bersabda bahwa
Beliau mendapat penghormatan bukan semata-mata karena kesusilaan, melainkan
karena kebijaksanaan yang mendalam yang beliau temukan dan nyatakan. Beliau
memberikan sebuah daftar berisi 62 bentuk spekulasi mengenai dunia dan pribadi
dari guru-guru lain.
o
Samannaphala Sutta: "Pahala yang dimiliki oleh tiap pertapa".
Kepada Ajatasattu yang berkunjung pada Sang Buddha, Beliau menerangkan
keuntungan menjadi seorang Bhikkhu, dari tingkat terendah sampai tingkat
Arahat.
o
Ambattha Sutta: Percakapan antara Sang Buddha dengan Ambattha mengenai
kasta, yang sebagian memuat cerita tentang raja Okkaka, leluhur Sang Buddha.
o
Kutadanta Sutta: Percakapan dengan Brahmana Kutadanta tentang
ketidaksetujuan terhadap penyembelihan binatang untuk sajian.
o
Mahali Sutta: Percakapan dengan Mahali mengenai penglihatan gaib. Yang
lebih tinggi dari pada ini adalah latihan menuju kepada pengetahuan sempurna.
o
Kassapasihanada Sutta: Percakapan dengan seorang pertapa telanjang
Kassapa tentang tidak bermanfaatnya menyiksa diri.
o
Tevijja Sutta: tentang ketidakbenaran pelajaran ketiga Veda untuk
menjadi anggota kelompok dewa-dewa Brahma.
o
Mahapadana Sutta: Penjelasan Sang Buddha mengenai 6 orang Buddha yang
sebelumnya dan beliau sendiri, mengenai masa-masa mereka muncul, kasta, susunan
keluarga, jangka kehidupan, pohon bodhi, siswa-siswa utama, jumlah pertemuan,
pengikut, ayah, ibu dan kota dengan sebuah khotbah kedua mengenai Vipassi dari
saat meninggalkan surga Tusita hingga saat permulaan memberi pelajaran.
o
Mahanidana Sutta: mengenai rantai sebab musabab yang bergantungan dan
teori-teori tentang jiwa.
o
Mahaparinibbana Sutta: cerita tentang hati-hari terakhir dan kemangkatan
Sang Buddha, serta pembagian relik-relik.
o
Sakkapanha Sutta: Dewa Sakka mengunjungi Sang Buddha, menanyakan 10
persoalan dan mempelajari kesunyataan bahwa segala sesuatu yang timbul akan
berakhir dengan kemusnahan.
o
Maha Satipatthana Sutta: Khotbah mengenai 4 macam meditasi (mengenai
badan jasmani, perasaan, pikiran dan Dhamma) disertai penjelasan mengenai 4
Kesunyataan.
o
Payasi Sutta: Kumarakassapa menyadarkan Payasi dari pandangan keliru
bahwa tiada kehidupan selanjutnya atau akibat dari perbuatan. Setelah Payasi
mangkat, Bhikkhu Gavampati menemuinya di surga dan melihat keadaannya.
o
Pitika Sutta: cerita mengenai seorang siswa yang mengikuti guru lain,
karena Sang Buddha tidak menunjukkan kegaiban maupun menerangkan asal mula
banda-benda. Selama percakapan, Sang Buddha menerangkan kedua hal tersebut.
o
Cakkavattisihanada Sutta: cerita tentang raja dunia dengan berbagai
tingkat penyelewengan moral dan pemulihannya serta tentang Buddha Metteyya yang
akan datang.
o
Aganna Sutta: perbincangan mengenai kasta dengan penjelasan mengenai
asal mula benda-benda, asal mula kasta-kasta dan artinya yang sesungguhnya.
o
Sampasadaniya Sutta: percakapan antara Sang Buddha dengan Sariputta yang
menyatakan keyakinannya kepada Sang Buddha dan menjelaskan ajaran Sang Buddha.
Sang Buddha berpesan untuk kerap kali mengulangi pelajaran ini kepada para
siswa.
o
Lakkhana Sutta: Penjelasan mengenai 32 tanda "Orang Besar"
(Raja alam semesta atau seorang Buddha), yang dijalin dengan syair berisi 20
bagian; tiap bagian dimulai dengan "Disini dikatakan".
o
Sigalovada Sutta: Sang Buddha menemukan Sigala sedang memuja enam arah.
Beliau menguraikan kewajiban seorang umat dengan menjelaskan bahwa pemujaan itu
adalah menunaikan kewajiban terhadap enam kelompok orang (orang tua, guru,
sahabat dan lain-lain).
2.
Majjhima Nikaya
Merupakan buku
kedua dari Sutta Pitaka yang memuat khotbah-khotbah menengah. Buku ini terdiri
atas tiga bagian (pannasa); dua pannasa pertama terdiri
atas 50 sutta dan pannasa terakhir terdiri atas 52 sutta;
seluruhnya berjumlah 152 sutta. Beberapa sutta diantaranya adalah :
o
Mulapariyaya Sutta: pelajaran mengenai akar segala benda mulai dari
unsur-unsur sampai Nibbana.
o
Satipatthana Sutta: sama dengan di Digha Nikaya, tetapi tanpa ulasan
mengenai 4 Kesunyataan.
o
Kakacupama Sutta: "Tamsil Gergaji". Perihal tidak marah jika
dihina. Seorang Bhikkhu yang marah seandainya anggota badannya digergaji satu
demi satu bukanlah siswa Sang Buddha.
o
Alagaddupama Sutta : "Tamsil seekor ular air". Seorang Bhikkhu
dimarahi karena melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran.
Mempelajari Dhamma secara tidak benar bagaikan manangkap seekor ular pada
ekornya.
o
Cula Saccaka Sutta : diskusi umum antara Sang Buddha dan seorang Jain
Saccaka mengenai lima khandha seseorang.
o
Maha Saccaka Sutta : mengenai perenungan atas nama dan rupa, dengan penjelasan
oleh Sang Buddha tentang ia meninggalkan keduniawian, pengendalian nafsu dan
penerangan sempurna.
o
Seleyyaka Sutta : khotbah kepada para Brahmana dari Sala mengenai
sebab-sebab mengapa makhluk ada yang memasuki surga dan ada yang menuju neraka.
o
Vedalla Sutta (Maha dan Cula) : 2 khotbah dalam bentuk komentar atas
istilah-istilah kejiwaan. Yang pertama oleh Sariputta kepada Mahakotthita dan
yang kedua oleh Bhikkhuni Dhammadinna kepada upasaka Visakha.
o
Brahmanimantanika Sutta : Sang Buddha menceritakan kepada para Bhikkhu
bagaimana Beliau pergi ke surga Brahma untuk memberi pelajaran kepada Baka,
yakni salah satu penghuni surga, tentang ketidakbenaran pendapat tentang
kekekalan.
o
Maratajjaniya Sutta: cerita tentang Mara yang menyelusup dalam perut
Moggallana. Moggallana memerintahkan keluar dan memberikan pelajaran dengan
mengingatkannya akan suatu masa ketika Moggallana sendiri terlahir sebagai Mara
bernama Dusi dan Mara adalah kemenakannya.
o
Kandaraka Sutta: percakapan dengan Pessa dan Kandaraka dan khotbah
tentang empat jenis orang.
o
Jivaka Sutta: Jivaka mengajukan pertanyaan apakah benar Sang Buddha
menyetujui pembunuhan dan memakan daging. Sang Buddha menunjukkan dengan contoh
bahwa itu tidak benar dan bahwa seorang bhikkhu makan daging hanya jika ia
tidak melihat, mendengar dan menduga bahwa daging itu khusus dibuat untuknya.
o
Upali Sutta: cerita tentang Upali yang diutus oleh pemimpin Jaina
Nataputta untuk berdebat dengan Sang Buddha, tetapi akhirnya menjadi pengikut.
o
Kukkuravatika Sutta: percakapan mengenai kamma antara Sang Buddha dengan
dua orang pertapa, yang satu diantara mereka hidup seperti anjing dan satu lagi
seprti lembu.
o
Abhayarajakumara Sutta: Pangeran Abhaya diutus oleh seorang Jain Nataputta
untuk membantah Sang Buddha dengan megajukan pertanyaan berganda tentang
kutukan hebat yang diterima oleh Devadatta.
o
Bahuvedaniya Sutta: mengenai penggolongan perasaan-perasaan dan perasaan
tertinggi.
o
Maha Rahulovada Sutta: nasehat kepada Rahula tentang pemusatan pikiran
dengan jalan menarik dan mengeluarkan napas serta memusatkan pikiran kepada
unsur-unsur.
o
Ratthapala Sutta: cerita mengenai Ratthapala yang kedua orang tuanya
tidak menyetujui ia memasuki Sangha dan membujuknya untuk kembali menjadi umat
biasa.
o
Makhadeva Sutta: cerita mengenai Sang Buddha dalam kehidupannya di masa
lampau sebagai Raja Makhadeva dan keturunannya sampai Raja Nimi.
o
Angulimala Sutta: cerita mengenai Angulimala, penyamun yang kemudian
menjadi Bhikkhu.
o
Piyajatika Sutta: nasehat Sang Buddha kepada seorang laki-laki yang
kehilangan anak dan pertengkaran antara Raja Pasenadi dan permaisurinya
mengenai hal itu.
o
Brahmayu Sutta: mengenai 32 tanda pada tubuh Sang Buddha dan penerimaan
Brahmana Brahmayu sebagai pengikut Buddha.
o
Sela Sutta: Pertapa Keniya mengundang Sang Buddha dan para Bhikkhu untuk
jamuan makan. Brahmana Sela melihat 32 tanda dan menjadi siswa. (Ini terdapat
pula dalamSn III 7).
o
Vasettha Sutta: Khotbah yang sebagian besar dalam bentuk syair mengenai
brahmana sejati, baik karena kelahiran maupun perbuatan (ini terdapat pula
dalam Sn IIII
o
Subha Sutta: mengenai soal apakah seseorang dapat berbuat kebaikan lebih
banyak sebagai kepala keluarga atau dengan jalan meninggalkan keduniawian.
o
Isigili Sutta: Sang Buddha menjelaskan nama bukit Isigili dan
menyebutnya nama-nama Pacceka Buddha yang dahulu tinggal di sana.
o
Maha Cattarisaka Sutta: penjelasan mengenai Jalan Mulia Beruas Delapan
dengan tambahan mengenai pengetahuan yang benar dan emansipasi yang benar.
o
Anapanasati Sutta: perihal cara dan jasa melatih meditasi masuk dan
keluarnya napas.
o
Kayagatasati Sutta: perihal cara dan jasa meditasi badan jasmani.
o
Cula Kammavibhanga Sutta: Sang Buddha menerangkan sifat-sifat batin dan
jasmani orang yang berbeda-beda dan keberuntungan mereka menurut kamma.
o
Maha Kammavibhanga Sutta: seorang pertapa secara keliru menuduh bahwa
Sang Buddha mengatakan kamma tidak berguna dan Sang Buddha menerangkan
pandangannya sendiri.
o
Dhatuvibhanga Sutta: uraian mengenai unsur-unsur. Khotbah ini dimasukkan
dalam cerita Pukkusati, seorang siswa yang belum pernah melihat Sang Buddha
akan tetapi mengenalinya melalui ajarannya.
o
Dakkhinavibhanga Sutta: Mahapajapati menghadiahkan satu pasang jubah
kepada Sang Buddha, yang menjelaskan berbagai jenis orang yang patut menerima
pemberian dan berbagai jenis orang yang memberi.
3.
Samyutta Nikaya
Merupakan buku
ketiga dari Sutta Pitaka yang terdiri atas 7.762 sutta (menurut "An
analysis of the Pali Canon" [wheel no.217/218/219/220] ada 2.889
sutta). Buku ini dibagi menjadi lima vagga utama dan 56 bagian yang disebut
Samyutta. Beberapa Samyutta di antaranya sebagai berikut:
o
Mara: perbuatan-perbuatan bemusuhan dari Mara terhadap Sang Buddha dan
para siswaNya.
o
Bhikkhuni: bujukan yang tidak berhasil dari Mara terhadap para bhikkuni
dan perbedaan pendapatnya dengan mereka.
o
Brahma: Brahma Sahampati memohon Sang Buddha untuk membabarkan Dhamma
kepada dunia.
o
Sakka: Sang Buddha menguraikan sifat-sifat Sakka, Raja para Dewa.
o
Nidana Samyutta: penjelasan mengenai Paticcasamuppada (doktrin sebab
musabab yang saling bergantungan).
o
Abhisamaya: dorongan untuk membasmi kekotoran batin secara tuntas.
o
Khandha Samyutta: kumpulan unsur, fisik dan mental yang membentuk
individu.
o
Kilesa: kekotoran batin muncul dari enam pusat indria dan kesadaran
indria.
o
Vedana: tiga jenis perasaan dan sikap yang benar terhadap perasaan itu.
o
Citta: alat indria dan obyeknya pada hakekatnya tidak jahat, melainkan
kehendak-kehendak tidak baik yang timbul melalui kontak mereka.
o
Asankhata: tidak terbentuk (Nibbana)
o
Magga Samyutta: jalan beruas delapan.
o
Bojjhanga: tujuh faktor Penerangan Agung.
o
Satipatthana: empat dasar kesadaraan.
o
Indriya: lima kemampuan
o
Sammappadhana: empat macam usaha benar.
o
Bala: lima kekuatan.
o
Iddhipada: empat kekuatan batin.
o
Anuruddha: kekuatan-kekuatan gaib yang dicapai oleh Anuruddha melalui
kesadaran.
o
Jhana: empat jhana.
o
Anapana: kesadaraan dari pernapasan.
o
Sotapatti: gambaran tentang seorang "penakluk arus".
o
Sacca: empat kesunyataan mulia.
4.
Anguttara Nikaya
Merupakan buku
keempat dari Sutta Pitaka yang terdiri atas 9.577 sutta (menurut "An
Analysis of the Pali Canon & Buddhism" oleh Christmas Humphreys
ada 2.308 sutta) dan terbagi atas 11 nipata (bagian).
Sutta-sutta di sini disusun menurut urutan bernomor untuk memudahkan
pengingatan.
o
Ekaka Nipata: (yang serba satu) misalnya pikiran terpusat/tidak
terpusat; usaha ketekunan Sang Buddha dan sebagainya.
o
Duka: (yang serba dua), dua jenis kamma vipaka yaitu
yang membuahkan hasil dalam kehidupan sekarang maupun yang membawa kepada
tumimbal lahir dan seterusnya; dua jenis dana; dua golongan Bhikkhu dan
sebagainya.
o
Tika: (yang serba tiga), tiga pelanggaran melalui jasmani, ucapan dan
pikiran; tiga perbuatan yang patut dipuji yaitu kedermawanan, penglepasan, dan
pemeliharaan orang tua; dan sebagainya.
o
Catuka: (yang serba empat), empat jenis orang yaitu tidak bijaksana dan
tidak beriman; tidak bijaksana tapi beriman; bijaksana tapi tidak beriman,
bijaksana dan beriman; empat jenis kebahagiaan (empat Brahma Vihara, empat
sifat yang menjaga Bhikkhu dari kekeliruan); empat cara pemusatan diri dan
sebagainya.
o
Pancaka: (yang serba lima), lima ciri yang baik dari seorang siswa; lima
rintangan batin; lima obyek meditasi; lima sifat buruk; lima perbuatan baik;
dan sebagainya.
o
Chakka: kewajiban rangkap enam dari seorang Bhikkhu.
o
Sattaka: tujuh jenis kekayaan; tujuh jenis kemelekatan.
o
Atthaka: delapan sebab kesadaran; delapan sebab pemberian dana; delapan
sebab gempa bumi.
o
Navata: sembilan perenungan; sembilan jenis manusia.
o
Dasaka: sepuluh perenungan, sepuluh jenis penyucian batin.
o
Ekadasaka: sebelas jenis kebahagian / jalan menuju nibbana; sebelas
sifat-sifat baik dan buruk dari seorang pengembala dan Bhikkhu.
5.
Khuddaka Nikaya
Merupakan buku
kelima dari Sutta Pitaka yang terdiri atas kumpulan lima belas kitab, yaitu:
o
Khuddaka Patha: bacaan dari bagian-bagian singkat; berisi empat teks dan
lima sutta, yaitu:
§ Saranattaya:
pengulangan tiga kali berlindung pada Buddha,Dhamma dan Sangha.
§ Dasasikkhapada:
sepuluh sila yang harus dipatuhi oleh para samanera. Lima pertama harus
dipatuhi oleh umat biasa.
§ Dvattimsakara:
daftar 32 unsur pokok badan jasmani.
§ Kumarapanha:
sepuluh macam tanya jawab untuk para samanera.
§ Mangala
Sutta: sebuah syair untuk menjawab pertanyaan mengenai apakah kebahagian
tertinggi itu.
§ Ratana
Sutta: sebuah syair mengenai Tiratana dalam hubungannya untuk menerangkan
kepada para makhluk halus.
§ Tirokudda
Sutta: syair mengenai pelimpahan jasa untuk arwah sanak keluarga yang sudah
meninggal, yang terlahir di alam yang menyedihkan.
§ Nidhikanda
Sutta: syair tentang pengumpulan harta sejati.
§ Metta
Sutta: syair tentang cinta kasih universal.
o
Dhammapada: kata-kata dari Dhamma; kumpulan 423 bait yang dibagi dalam
26 vagga.
o
Udana: kumpulan dari 80 udana yang terbagi menjadi 8 vagga. Kitab ini
memuat khotbah Sang Buddha yang disabdakan pada berbagai kesempatan.
§ Bodhi Vagga: menggambarkan kejadian-kejadian tertentu
setelah pencapaian Penerangan Sempurna oleh Sang Buddha, termasuk khotbah
termasyur kepada Bahiya yang menekankan kehidupan pada saat sekarang.
§ Mucalinda: vagga ini dinamai menurut nama raja Naga yang
melindungi Sang Buddha dengan kepalanya.
§ Nanda: Sang Buddha meyakinkan saudara tirinya, Nanda,
tentang kehampaan hidup duniawi. Juga memuat nasehat-nasehat kepada Sangha.
§ Meghiya : tanpa memeprdulikan nasehat Sang Buddha, Meghiya
mengasingkan diri ke sebuah hutan mangga untuk berlatih meditasi, tetapi
batinnya segera diserang pikiran-pikiran tidak baik. Setelah kembali kepada
Sang Buddha, ia diberitahukan bahwa lima faktor harus ditumbuhkan oleh orang
yang batinnya belum berkembang yaitu persahabatan yang baik, moralitas,
percakapan yang menguntungkan, keteguhan hati, dan pengetahuan. Juga memuat
cerita-cerita Sundari dan serangan terhadap Sariputta oleh seorang Yakkha.
§ Sonathera: memuat kisah kunjungan Raja Pasenadi kepada
Sang Buddha, khotbah kepada Suppabuddha yang menderita penyakit kusta,
penjelasan mengenai delapan ciri Sasana dan tahun pertama dari kehidupan Sona
sebagai bhikkhu.
§ Jaccandha: memuat gambaran tentang Sang Buddha akan
mencapai parinibbana, percakapan Raja Pasenadi, dan kisah raja yang menyuruh
orang-orang yang buta sejak lahir (jaccandha) untuk masing-masing meraba
dan menggambarkan seekor gajah - untuk membantu menjelaskan realisasi sebagian
dari kebenaran.
§ Cula: memuat peristiwa-peristiwa kecil, terutama mengenai
para Bhikkhu secara perorangan.
§ Pataligama: memuat definisi termasyur dari Nibbãna sebagai
yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak dibuat, tidak dibentuk, santapan
Sang Buddha yang terakhir dan nasehatnya kepada Ananda mengenai Cunda, dan
kunjungan ke Pataligama tempat Sang Buddha mengungkapkan lima manfaat menempuh
kehidupan suci dan lima kerugian tidak melakukan hal itu.
o
Itivuttaka : kumpulan 112 sutta pendek dalam 4 nipata yang masing-masing
disertai syair. Syair-syair ini biasanya dimulai dengan kata "Iti
Vuccati" (demikian dikatakan). Karya ini terdiri atas ajaran-ajaran etika
dari Sang Buddha
o
Sutta Nipata : kumpulan ini terdiri atas lima vagga yang memuat 71
sutta. Sutta-sutta itu diantaranya sbb.:
§ Uraga
Sutta: Bhikkhu yang menyingkirkan semua nafsu (buruk) manusia, kemarahan,
kebencian, kerakusan, dll.; dan terbebas dari khayalan dan ketakutan,
diperbandingkan dengan seekor ular yang berganti kulit.
§ Dhaniya
Sutta: ketenangan duniawi diperbandingkan dengan ketenangan Sang Buddha.
§ Kasibharadvaja
Sutta: pekerjaan yang berguna secara sosial atau duniawi diperbandingkan
dengan usaha-usaha Sang Buddha yang tidak kurang pentingnya untuk mencapai
Nibbãna.
§ Cunda
Sutta: Sang Buddha menguraikan tentang 4 jenis samana, seorang Buddha,
seorang Arahat, seorang Bhikkhu yang sungguh-sungguh dan bertanggung jawab, dan
seorang Bhikkhu penipu.
§ Parabhava
Sutta: sebab-sebab kejatuhan seseorang dalam bidang moral dan batin
diuraikan.
§ Vasala
atau Aggika Bharadvaja Sutta: untuk menyangkal tuduhan orang buangan, Sang
Buddha menjelaskan bahwa karena perbuatanlah, bukan garis keturunan, orang
menjadi orang buangan atau brahmana.
§ Metta
Sutta: unsur-unsur pokok latihan cinta kasih terhadap semua mahluk.
§ Hemawata
Sutta: dua orang jakkha ragu-ragu tentang sifat-sifat
Buddha yang dinyatakan olehnya. Sang Buddha merumuskan uraiannya dengan
menjelaskan jalan pembebasan dari kematian.
§ Alavaka
Sutta : Sang Buddha menjawab pertanyaan-pertanyaan Yakkha Alavaka mengenai
kebahagiaan, pengertian, jalan ke Nibbana.
§ Vijaya
Sutta: suatu analisa tubuh dalam bagian-bagian pokoknya (yang tidak bersih)
dan sebutan Bhikkhu yang mencapai Nibbãna karena memahami sifat sejati badan
jasmani.
§ Muni
Sutta: konsepsi idealitas seorang muni atau orang bijaksana yang menjalani
kehidupan menyepi yang bebas dari nafsu-nafsu.
§ Ratana
Sutta: pujian kepada Tiratana (Buddha, Dhamma, dan Sangha).
§ Mahamangala
Sutta: 38 macam petunjuk-petunjuk etika dalam menempuh kehidupan suci,
mulai dengan petunjuk-petunjuk etika dasar dan mencapai puncaknya pada
penyelaman Nibbãna.
§ Suciloma
Sutta: untuk menanggapi sikap mengancam dari Yakkha Suciloma, Sang Buddha
menyatakan bahwa nafsu, kebencian, keraguan, dan sebagainya bermula dengan
badan jasmani, keinginan, dan konsep aku.
§ Rahula
Sutta: Sang Buddha menasehati putra-Nya yang telah ditahbiskan, Rahula,
untuk menghormati orang bijaksana, bergaul dan berhubungan sesuai dengan
prinsip-prinsip seorang pertapa.
§ Vangisa
Sutta: Sang Buddha memberi kepastian kepada Vangisa bahwa gurunya yang
telah wafat, Nigrodhakappa, telah mencapai Nibbãna.
§ Dhammika
Sutta: Sang Buddha menjelaskan kepada Dhammika kewajiban masing-masing dari
seorang Bhikkhu dan umat biasa; umat biasa diharapkan untuk mentaati Pancasila
dan memperingati hari-hari Uposatha.
§ Pabbajja
Sutta : Raja Bimbisara dari Magadha menggoda Sang Buddha dengan kekayaan
meterinya dan menanyakan garis keturunannya. Sang Buddha menunjukkan kenyataan
tentang kelahiran di antara kaum Sakya dari Kosala dan Ia telah mengatasi
khayal dari kenikmatan-kenikmatan indria.
§ Padhana
Sutta: uraian yang jelas sekali mengenai godaan Mara menjelang pencapaian
Penerangan Sempurna oleh Sang Buddha.
§ Subhasita
Sutta: bahasa para Bhikkhu hendaknya baik dalam penuturannya, menyenangkan,
tepat, dan benar.
§ Salla
Sutta: kehidupan itu berlangsung singkat dan semua kehidupan terancam oleh
kematian, tetapi orang bijaksana yang memahami sifat kehidupan tidak merasa
takut.
§ Vasetta
Sutta: dua orang pemuda, Bharadvaja dan Vasettha, membahas masalah martabat
brahmana karena kelahiran, tetapi Vasettha mengatakan bahwa seseorang menjadi
brahmana hanya karena perbuatan. Sang Buddha akhirnya menegaskan pandangan
Vasettha sebagai pendapat yang benar.
§ Kokaliya
Sutta: Kokaliya secara keliru menganggap keinginan-keinginan jahat berasal
dari Sariputta dan Moggallana dan akhirnya menimbulkan penderitaan, karena
kematian dan tumimbal lahir di salah satu alam neraka. Sang Buddha kemudian
menyebutkan satu persatu neraka-neraka yang berbeda dan menggambarkan hukuman
atas perbuatan mengumpat dan menfitnah.
§ Nalaka
Sutta: ramalan Pertapa Asita mengenai Buddha Gotama yang akan datang. Putra
adik perempuannya, Nalaka, memiliki kebijaksanaan tertinggi yang dibentangkan
kepadanya oleh Sang Buddha.
§ Dvayatanupassana
Sutta: dukkha timbul dari substansi, ketidaktahuan, panca
khandha, keinginan, kemelekatan, usaha, makanan, dan sebagainya.
§ Magandiya
Sutta: kembali Sang Buddha menekankan kepada Magandiya, seorang yang yakin
akan kesucian melalui filsafat, bahwa kesucian hanya dapat terjadi karena
kedamaian batin.
§ Purabheda
Sutta: kelakuan dan ciri-ciri seorang bijaksana sejati yaitu kebebasan dari
keserakahan, kemarahan, keinginan, nafsu, dan kemelekatan dan senatiasa tenang,
tenggang ras, dan bermental seimbang.
§ Culaviyuha
Sutta: uraian mengenai mazhab-mazhab filsafat yang berbeda semuanya saling
bertentangan tanpa menyadari bahwa kebenaran itu satu.
§ Mahaviyuha
Sutta: para ahli filsafat hanya memuji diri mereka sendiri dan mengecam
orang lain, tetapi seorang brahmana sejati tetap tidak tertarik kepada
pencapaian intelektual yang meragukan itu dan karenanya tenang dan damai.
§ Attadanda
Sutta: orang bijaksana hendaknya tulus, tidak berbohong, sederhana, bebas
dari ketamakan dan fitnah, bersemangat dan tanpa keinginan untuk memperoleh
nama dan kemasyuran.
o
Vimanavatthu: cerita-cerita mengenai rumah di surga yang merupakan 85
syair dalam tujuh vagga mengenai pahala dan tumimbal lahir di alam-alam surga.
o
Petavatthu: terdiri atas 51 syair dalam 4 vagga mengenai tumimbal lahir
sebagai setan pengembara karena perbuatan-perbuatan tercela.
o
Theragatha: syair tentang para Bhikkhu senior (thera), kumpulan
syair-syair, yang disusun oleh para Thera semasa hidup Sang Buddha. Beberapa
syair berisi riwayat hidup para Thera, sedang lainnya berisi pujian yang
diucapkan para Thera atas pembebasan yang telah dicapai.
o
Therigatha: syair tentang para Bhikkhuni senior (theri), buku
yang serupa dengan Theragatha yang merupakan kumpulan dari ucapan para Theri
semasa hidup Sang Buddha.
o
Jataka: cerita kelahiran merupakan kumpulan yang memuat 547 kisah yang
dianggap sebagai cerita tentang kehidupan-kehidupan lampau Sang Buddha. Nidana
Katha atau cerita tentang garis silsilah adalah ulasan pengantar yang
menguraikan kehidupan Sang Buddha sampai pembukaan Vihãra Jetavana di Savatthi
dan juga kehidupan-kehidupan lampaunya di bawah Buddha-Buddha terdahulu.
o
Niddesa: terbagi dalam Mahaniddesa, sebuah ulasan mengenai Atthakavagga
dari Sutta Nipata, dan Culaniddesa, sebuah ulasan mengenai Parayanavagga dan
Khaggavisana Sutta yang juga dari Sutta Nipata. Niddesa ini sendiri diulas
dalam Saddhammapajjotika dari Upasena dan di situ dihubungkan dengan Sariputta.
o
Patisambhidamagga: suatu analisa Abhidhamma tentang konsep dan latihan yang
sudah disebutkan dalam Vinaya Pitaka dan Digha, Samyutta dan Anguttara Nikaya.
Ini dibagi dalam 3 bagian; Maha vagga, Yuganaddha-vagga dan Panna-vagga;
tiap-tiap vagga memuat sepuluh topik (katha).
o
Apadana: Kisah dalam syair tentang kehidupan lampau dari 550 orang
Bhikkhu dan 40 orang Bhikkhuni, yang semuanya diceritakan hidup pada masa Sang
Buddha.
o
Buddhavamsa: Riwayat Para Buddha yang di dalamnya Sang Buddha menuturkan
cerita tentang kebulatan hatinya untuk menjadi Buddha, dan mengungkapkan
riwayat 24 Buddha yang mendahuluinya.
o
Cariyapitaka: 35 kisah dari Jataka dalam syair yang melukiskan 7 dari 10
Kesempurnaan (dasa parami) yaitu kemurahan hati, moralitas, penglepasan,
kebijaksanaan, daya usaha, kesabaran, kebenaran, keteguhan hati, cinta kasih,
dan keseimbangan batin.
ABHIDHAMMA
PITAKA
Ketika
Abhidhamma Pitaka berisi uraian filsafat Buddha Dhamma yang disusun secara
analitis dan mencakup berbagai bidang, seperti ilmu jiwa, logika, etika, dan
metafisika. Jadi merupakan penyajian khusus tentang Dhamma seperti yang
terdapat dalam Sutta Pitaka. Pada umumnya, isinya terdapat dalam sutta-sutta
akan tetapi yang diuraikan dalam bagian ini adalah bentuk yang terperinci.
Kitab ini terdiri atas 7 buah buku (pakara), yaitu:
1.
Dhammasangani: perincian Dhamma-Dhamma, yakni unsur-unsur atau
proses-proses batin.
2.
Vibhanga: perbedaan atau penetapan. Pendalaman mengenai soal-soal dalam
Dhammasangani dengan metode yang berbeda. Buku ini terbagi menjadi 8 bab (vibhanga)
dan masing-masing mempunyai 3 bagian.
3.
Dhatukatha: penjelasan mengenai unsur-unsur, yaitu mengenai unsur-unsur
batin dan hubungannnya dengan kategori lain. Buku ini terbagi menjadi 14
bagian.
4.
Puggalapannatti: penjelasan mengenai orang-orang, terutama menurut tahap-tahap
pencapaian merka sepanjang Jalan. Dikelompokkan menurut urutan bernomor, dari
kelompok satu sampai sepuluh, seperti sistem dalam Kitab Anguttara Nikaya.
5.
Kathavatthu: pokok-pokok pembahasan, yaitu pembebasan dan bukti-bukti
kekeliruan dari berbagai sekte (aliran-aliran) tentang hal-hal yang berhubungan
dengan theologi dan metafisika. Terdiri atas 23 bab yang merupakan kumpulan
percakapan-percakapan (katha).
6.
Yamaka: kitab pasangan, yang oleh Geiger disebut logika terapan. Pokok
masalahnya adalah psikologi dan uraiannya disusun dalam pertanyaan-pertanyaan
berpasangan. Kitab ini terbagi menjadi 10 bab yang disebut Yamaka.
7.
Patthana: kitab hubungan, yaitu analisa mengenai hubungan-hubungan
(sebab-sebab dan sebagainya) dari batin dan jasmani yang berkenaan dengan
24 paccaya (kelompok sebab-sebab).
Gaya bahasa
dalam Kitab Abhidhamma bersifat sangat teknis dan analitis, berbeda dengan gaya
bahasa dalam Kitab Sutta Pitaka dan Vinaya Pitaka yang bersifat naratif,
sederhana, dan mudah dimengerti oleh umum. Pada dewasa ini sudah banyak bagian
dari Tipitaka yang telah diterjemahkan dan dibukukan ke dalam Bahasa Indonesia
misalnya Kitab Dhammapada; beberapa Sutta dari bagian Sutta Pitaka lainnya;
beberapa bagian dari Vinaya Pitaka dan juga beberapa bagian (buku) dari
Abhidhamma Pitaka.
By : http://tanhadi.blogspot.com/2011/04/sejarah-tipitaka-kitab-suci-agama.html
By : http://tanhadi.blogspot.com/2011/04/sejarah-tipitaka-kitab-suci-agama.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar