Rabu, 13 Juni 2012

Nichiren shosho

klik disini

BUDDHISME ZEN

klik disini

Aliran Tantrayana, Mantrayana dan Vajrayana


a. Aliran Tantrayana


Tantra itu menggabungkan keperluan kebaktian dari umat dengan latihan meditasi dari sekte Yogacara, dan dengan metafisika-Madhyamika. Walaupun keseluruhannya, dan sudah tentu akan adanya suatu kekeliruan besar untuk menginterpretasikan Buddhism-Tantra sebagai suatu gerakan dari penyatuan.

Tantra itu mewakili di antara sekte-sekte Mahayana, panca indera mengenai semangat, secara tradisi ditegaskan sebagai terdiri dari perawatan dan hasil dari yang bermanfaat, dan menghapuskan serta
gangguan dari yang tidak bermanfaat, keadaan mengenai pikiran. Dengan keadaan bermanfaat dari Jhana, atau Dhyana, pikiran yang terutama dimaksudkan. Maka dari itu kepentingan yang didominasi Tantra bukanlah teori tetapi praktek.

Yogacarin menekankan Meditasi, walaupun asalnya suatu protes terhadap satu sisi, akhirnya bertemu nasib yang sama, dimengerti untuk mengartikan bukan perolehan yang sebenarnya dari dhyana tapi suatu teori, bukan mengatakan spekulasi, interpretasi mengenai existensi di dalam cahaya dari pengalaman ini.

b.      Aliran Mantrayana

sebagai keadaan hal yang sebenarnya dengan cabang-cabang Tantra Chinese dan Jepang, istilah Mantrayana berlanjut di dalam penggunaan sebagai suatu petunjuk kolektif tidak hanya untuk memperkenalkan tapi juga untuk tingkat lebih lanjut dari gerakan Tantra, dan seperti itu dari satu sekarang.

Ada empat jenis Mantrayana :
  • rendah
  • menengah
  • unggul
  • dan yang paling baik

kelas Tantra dirancang untuk memenuhi kebutuhan empat jenis murid. Empat kelas mirip dengan "empat pintu":

  • Tantra Ritual
  • Perilaku Tantra
  • Yoga Tantra
  • Yoga dan Tantra tanpa tandingan.
Kalachakra adalah milik kelas Tantra Yoga tanpa tandingan.


c.       Aliran Vajrayana

Adapun tujuan akhir daripada Vajrayana ialah : Mencapai kesempurnaan dalam pencerahan dengan tubuh fisik kita saat ini, di kehidupan ini juga, tanpa harus menunggu hingga kalpa2 yang tak terhitung.

 vajrayana atau kadang ditulis Vajrayana, adalah suatu ajaran Buddha yang di Indonesia lebih sering dikenal dengan nama Tantra atau Tantrayana. Namun banyak juga istilah lain yang digunakan, seperti
misalnya: mantrayana, ajaran mantra rahasia, ajaran Buddha eksoterik. Vajrayana adalah merupakan ajaran yang berkembang dari ajaran Buddha Mahayana, dan berbeda dalam hal praktek, bukan dalam hal filosofi.

Dalam ajaran Vajrayana, latihan meditasi sering dibarengi dengan visualisasi. Istilah "Vajrayana"
berasal dari kata vajra yang dalam bahasa sanskerta bermakna 'halilintar' atau 'intan'. Vajra melambangkan intan sebagai unsur terkeras di bumi, maka istilah Vajrayana dapat bermakna "Kendaraan yang tak dapat rusak".

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN AGAMA BUDDHA DI KOREA DAN JEPANG


  1. A.     Sejarah dan Perkembangan Agama Buddha di Korea Pra-Sejarah

Agama Buddha pertama kali diperkenalkan di Korea pada tahun 372 M pada periode pemerintahan Kerajaan Geguryeo oleh seorang biarawan yang bernama Sundo yang berasal dari Dinasti Qian Qin di China. Kemudian, pada tahun 384 M, biarawan Malanda membawa agama Buddha ke Baekje dari Negara bagian Timur Jin di China. Dan pada masa Kerajaan Sila, agama Buddha disebarluaskan oleh Bikhu Ado dari Geguryeo pada pertengahan abad ke-5.

Adapun tiga wilayah kerajaan persebaran agama Buddha di Korea, yaitu meliputi:
-         Koguruyu, tahun 375 SM-668 M
-         Baekje, tahun 18 SM-660 M
-         Silla, tahun 57 M-935 M
Jika dilihat dari tahun berkembangnya agama Buddha di Korea, dapat disimpulkan bahwa pertama sekali yang menerima agama Buddha adalah wilayah Kerajaan Koguruyu dan terakhir adalah wilayah Kerajaan Silla. Adapun asal-mula pembagian kerajaan ini, ialah adanya persaingan ekonomi dan militer diantara tiga kerajaan ini dan memperebutkan Semenanjung Korea.
Masa keemasan agama Buddha di Korea terjadi ketika masa pemerintahan Dinasti Wang, yaitu kira-kira pada abad ke-11. Banyak kuil dan biara yang dibangun, serta jumlah pemeluk agama Buddha yang meningkat secara tetap. Ketika kekuasaan Dinasti Wang, Semenanjung Korea diambil-alih oleh Dinasti Yuan dari Kerajaan Mongol, sehingga agama Buddha di Korea banyak dipengaruhi oleh Lamanisme yang berasal dari Tibet. Setelah Dinasti Yuan dikalahkan oleh Dinasti Rhee dari Chosen Korea, dinasti ini menerima ajaran Konghucu dan membenamkan ajaran Buddha. Namun, ketika Dinasti Silla pada tahun 668 M berhasil menyatukan Semenanjung Korea, agama Buddha dijadikan sebagai agama Negara, walaupun sistem pemerintahannya masih berdasarkan prinsip-prinsip Konfusianisme.

  1. B.     Agama Buddha di Korea Zaman Modern

Agama Buddha di Korea pada zaman modern, menganut sekte Buddha Seon (Zen) dengan mempercayai Buddha Amitaba. Selain itu, Zen tetaplah menjadi suatu ajaran Buddha yang menekankan kepada pencerahan terhadap diri manusia, ketenangan dan ketidakabadian. Ajaran-ajaran pokok inilah yang dapat membantu siapapun yang mempelajarinya untuk dapat mengendalikan emosi dan berbuat baik, sehingga tercapai suatu keselarasan hidup dan pencerahan. Mungkin ajaran-ajaran seperti inilah yang tetap dijaga eksistensinya untuk menyokong agama-agama mayoritas yang telah ada di dunia.

  1. C.     Sejarah dan Perkembangan Agama Buddha di Jepang

Sebelum agama Buddha masuk ke Jepang, pada saat itu keadaan agama Jepang masih berupa kumpulan-kumpulan kepercayaan tanpa nama dari berbagai pemujaan alam, arwah nenek moyang dan shamanisme. Seorang kaisar Jepang yang pertama dan suku Yamato yang pertama, yaitu Jimu Teno sepakat untuk memeluk agama Shinto.
Agama Buddha masuk ke Jepang diperkirakan pada tahun 853 atau 552 M. ketika sebuah kerajaan kecil di Korea mengirimkan sebuah delegasi kepada Kaisar Kimmeo Tenno di Jepang. Di samping membawa hadiah, delegasi tersebut juga meminta agar kaisar dan rakyatnya memeluk agama Buddha. Suku Soga menerima agama ini, tetapi suku-suku lainnya menolak karena dianggap menghina kepercayaan mereka, terutama para dewa mereka.
Tokoh utama dalam penyebaran agama Buddha di Jepang adalah Pangeran Shotoku Taishi (547-621 M) yang naik tahta pada 593 M yang peranannya dalam agama Buddha dapat disejajarkan dengan Raja Asoka di India. Ia juga menjadikan agama Buddha sebagai agama Negara, dan ia juga menerjemahkan sendiri kitab suci Sadharma Pindarika, Vimalakirti, dan Srimalasutra yang sangat berpengaruh dalam pembentukan filsafat Buddhis di Jepang hingga hari ini. Pada tahun 607 M, ia mendirikan kuil-kuil di Nara dan Haryuji yang merupakan kuil tertua dan masih berdiri sampai sekarang.
Pada periode ini, tercatat enam sekte yang muncul di Jepang, yaitu:
1)      Kusha
2)      Sanron
3)      Jojitsu
4)      Kegon
5)      Hosso
6)      Ratsu
Kemudian, pada periode pemerintahan Nara yaitu pada tahun 710-884 M, agama Buddha mengalami kemajuan yang sangat pesat, karena banyak suku dan bangsawan berpengaruh dan memeluk agama Buddha. Pada periode ini muncullah enam sekte. Seperti yang telah disebutkan di atas, namun yang masih bertahan hanyalah sekte Hosso yang berpusat di kelenteng Kofukuji dan Yakushiji, serta sekte Kegon yang berpusat di kelenteng Todaiji dan sekte Ritsu yang berpusat di kelenteng Toshodaiji.
Pada zaman Kamakura mulai timbul feodalisme di Jepang. Aliran-aliran agama Buddha yang tumbuh dalam suasana feodalisme tersebut di antaranya adalah Zen yang diperkenankan oleh Eisai (1141-1215), Dogen (1200-1253) serta Nichiren yang didirikan oleh Nichiren (1222-1282).
  • Sekte Zen, merupakan sekte hasil jalur Sutra dengan ajaran Bodhidharma. Sekte Zen akhirnya terbagi lagi menjadi dua macam, yaitu ;
1)      Soto Zen dengan tokohnya Dogen. Sekte ini banyak dianut oleh kalangan prajurit dan petani.
2)      Rinzai dengan tokohnya Eisai. Sekte ini berkembang di kalangan militer dan aristrokrat serta menjadi tulang punggung kelas penguasa dan militer.

  • Sekte Amida, atau sering disebut dengan nama ‘Tanah Suci’, mengemukakan ajaran keselamatan dengan cara mempercayai Buddha secara mutlak dan menyebut Amida, seseorang yang akan mendapat keselamatan. Objek pemujaannya adalah patung Amida Buddha serta dilengkapi dengan patung Bodhisatwa Kwan On dan patung Deiseishi.
  • Sekte Nichiren Sozu, Pada abad ke-13, agama Buddha di Jepang menghasilkan seorang pembaharu yakni Bhikṣu Nichiren (1222-1282). Pemimpin yang memiliki kharisma ini mengajarkan bahwa keselamatan dapat dicapai dengan mengucapkan kata-kata suci NamaMyohorengekyo (terpujilah Sadharmapundarika Sūtra) dan beliau tidak ragu-ragu untuk mengkritik orang lain. Sekte ini memiliki ideologi yang ingin mengembalikan agama Buddha kepadanya bentuknya yang murni dan akan dijadikan sebagai perbaikan oleh masyarakat di Jepang. Sekte ini menolak ritualisme dan sentimentalisme Sekte Amida, melawan semua kesalahan, agresif dan bersifat eksklusif.


Dengan berakhirnya periode Kamakura, maka di Jepang tidak terdapat perkembangan agama yang jelas, selain berkembangnya beberapa aliran. Pada zaman Edo (1603-1867), agama Buddha sudah kembali menjadi agama nasional di bawah perlindungan Shogun Tokogawa. Agama Buddha di Jepang menjadi alat pemerintahan. Agama Buddha tidak begitu populer di kalangan masyarakat pada masa pemerintahan Meiji (1868-1912). Pada waktu itu, muncul usaha untuk menjadikan agama Shinto sebagai agama Negara, dengan cara memurnikan ajaran Shinto yang telah bercampur dengan Buddha. Cara yang dilakukan adalah dengan menyita vihara dan membatasi gerak-gerik para bhikku. Namun, keadaan tersebut berubah setelah restorasi Meiji pada tahun 1868. Agama Buddha menghadapi saingan dari agama asli, yaitu Shinto. Namun hal ini dinetralisir dengan kebebasan memeluk agama yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Jepang.

Perkembangan Buddhisme di India, Asia tengah Dan Asia timur


A. Agama Buddha di India


    Sejarah perkembangan agama Buddha di India dibagi menjadi tiga periode, yaitu:

    • Masa Perkembangan Awal hingga Konsili Agung Kedua Masa
    • Kekuasaan Raja Asoka
    • Masa Kemunduran agama Buddha di India


    1)     Masa Perkembangan Awal

    Terjadinya perbedaan pendapat antara Bhikkhu. Yang mana ada kelompok bhikkhu yang masih tetap mempertahankan agama Buddha dan memelihara kemurnian ajarannya yang disebut dengan Mahasanghika, dan ada pula sekelompok bhikkhu yang ingin merubah aturan yang telah ditetapkan
    karena dirasa berat untuk dilaksanakan yang disebut dengan Theravada. Oleh sebab itu, diadakan Konsili di RajaGraha dan dihadiri oleh 500 arahat dengan tujuan untuk mengumpulkan ajaran-ajaran yang telah disusun secara sistematis di dalam kitab Tripitaka. Adapun secara singkatnya konsili I sampai konsili IV sebagai berikut:


    • KONSILI I
    Dilaksanakan RajaGraha, yang bertujuan untuk mengumpulkan ajaran-ajaran dalam Tripitaka  

    • KONSILI II

    Dilaksanakan di Vesali, Tujuan: Sebagai awal mula munculnya dua kelompok, yaitu kelompok besar Mahasangika dikenal dengan Mahayana, dan kelompok kecil Sthaviharada dikenal dengan Hinayana.

    •  KONSILI III

    Konsili ini akibat dari kedua kelompok yang berseteru menamakan diri masing-masing. Theravada menamakan diri menjadi Hinayana, dan Mahasanghika menamakan diri menjadi Mahayana.
    Dan pada konsili ini, Abhidhamma Pitakasudah mulai tersusun.

    • KONSILI IV

    Dilaksanakan di Pataliputra, yang bertujuan untuk meneliti kembali ajaran-ajaran Buddha, serta mencegah penyelewengan sehingga terjadi perpecahan di dalam sangha.


    2) Masa Kekuasaan Raja Asoka

    Sebelum Raja Asoka naik tahta, beliau memegang kuasa sebagai raja muda di India Barat. Beliau menggantikan ayahnya sejak masih muda, tetapi penobatannya sebagai raja baru diadakan empat
    tahun kemudian. Beliau adalah seorang yang lemah lembut, ramah dan berbakti, setia kepada agama dan sangat mengasihi rakyatnya. Beliau terpaksa berperang di Deccan dan menaklukkan kerajaan Kalinga.

    Pada tahun 249 SM atau 24 tahun setelah menjadi raja, Raja Asoka mengunjungi tempat-tempat yang berhubungan dengan kehidupan Buddha Gotama. Tempat-tempat tersebut adalah :
    • Kapilavatthu (tempat kelahiran Buddha)
    • Varanasi (tempat Buddha pertama kali mengajarkan Dhamma)
    • Buddhagaya (tempat Buddha mencapai penerangan di pohon Bodhi)
    • Kusinara (tempat parinibbana Buddha
    Di tempat-tempat ini, Raja memberikan dana dan mendirikan tanda-tanda peringatan yang sampai sekarang masih bermakna untuk mempelajari sejarah masa lalu.

    Raja meninggalkan ajaran Brahmana dan mengikuti ajaran Buddha, kemudian beliau menjadi Bhikkhu dan mendirikan 48.000 buah stupa, yang masih tersisa adalah stupa yang terkenal di Sanchi, India Tengah, serta beberapa vihara bagi kaum wanita untuk puterinya. Yang terpenting dalam sejarah pemerintahan Raja Asoka dan membuat namanya terkenal sampai sekarang adalah tulisan-tulisan yang dipahat pada dinding-dinding atau tiang-tiang batu. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Prakrit.
    Prasasti-prasasti tersebut mengandung berbagai undang-undang dan aturan-aturan tentang :
    • agama dan masyarakat
    • perdamaian antaragama
    • upacara
    • kebaktian,dan sebagainya.


    3)     Masa Kemunduran Agama Buddha di India

    Setelah perkembangan yang mengesankan di India selama kurang lebih lima abad, akhirnya agama Buddha mengalami kemunduran. Pada abad ke-7 M, kemerosotan tersebut semakin meluas di India akibat serangan oleh bangsa Hun Putih yang merusak pusat-pusat peribadatan Buddha. Akibat dari hal-hal tersebut, aliran Theravada dan Mahayana lambat laun tersingkir dari India sendiri, terutama karena peranan sangha yang cukup besar dalam penyebaran agama Buddha.

      B. Agama Buddha di China

      Agama Buddha muncul di China kira-kira pada abad pertama Masehi dari Asia Tengah sampai dengan abad ke-8 ketika Negara ini menjadi pusat agama Buddha yang penting. Agama Buddha tumbuh
      pesat selama awal Dinasti Tang (618-907). Dinasti ini memiliki ciri keterbukaan kuat terhadap pengaruh asing dan pertukaran unsur kebudayaan dengan India. Namun, pengaruh asing kembali dianggap negative pada masa akhir Dinasti Tang. Pada tahun 845, Kaisar Tang Wu Tsung melarang semua agama asing untuk lebih mendukung Taoisme yang merupakan ajaran pribumi. Maka dengan ini, berakhirlah kejayaan kebudayaan dan kekuasaan intelektual Buddha.

      Agama Buddha di China juga melahirkan beberapa aliran besar dalam golongan Buddha Mahayana, antara lain:

      • Aliran Chan atau Dhyana yang didirikan oleh Boddhirma pada 527-536 M yang tujuannya adalah untuk kembali kepada ajaran Buddha yang asli dan sangat menekankan pada teks-teks suci.
      • Aliran Vinaya yang didirikan oleh Too Hsuan pada 595-667 M yang ajarannya merujuk kepada Vinaya Pitaka yang berisi mengenai etika dan peraturan-peraturan yang berlaku pada bikkhu dan bikkhuni.
      • Aliran Ching-tu yang didirikan oleh Hin Yun dan T’an Lun yang ajarannya berdasarkan kitab Amithabayana

      Hari suci Buddhis

      klik disini ajaa..

      Konsepsi Tentang Alam dan Manusia Etika (Catur Paramita dan Catur Mara)

      klik disini yooo...

      meditasi dan jalan tengah

      klik disini

      PENGERTIAN DASAR BUDHA DHARMA TRI RATNA DAN SADHA

      http://www.facebook.com/groups/308505235877855/doc/313183725410006/

      Rabu, 06 Juni 2012

      Poto Kegiatan Waisak 2012

      http://www.walubi.or.id/

      Peta Jalur Pelayaran Antara India-Indonesia

      Peta Jalur Pelayaran Antara India-Indonesia 







      PROSES MASUKNYA BUDDHA KE INDONESIA
      Agama Budha berasal dari India, kemudian menyebar ke Asia Timur. Asia Tenggara termasuk Indonesia. Indonesia sebagai negara kepulauan yang letaknya sangat strategis, yaitu terletak diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudra (Indonesia dan Pasifik) yang merupakan daerah persimpangan lalu lintas perdagangan dunia. Untuk lebih jelasnya, silahkan amati gambar peta jaringan perdagangan laut Asia Tenggara tersebut.
      Awal abad Masehi, jalur perdagangan tidak lagi melewati jalur darat (jalur sutera) tetapi beralih kejalur laut, sehingga secara tidak langsung perdagangan antara Cina dan India melewati selat Malaka. Untuk itu Indonesia ikut berperan aktif dalam perdagangan tersebut.
      Akibat hubungan dagang tersebut, maka terjadilah kontak/hubungan antara Indonesia dengan India, dan Indonesia dengan Cina. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab masuknya budaya India ataupun budaya Cina ke Indonesia.
      Mengenai siapa yang membawa atau menyebarkan agama Budha ke Indonesia, tidak dapat diketahui secara pasti, walaupun demikian para ahli memberikan pendapat tentang proses masuknya agama Budha atau kebudayaan India ke Indonesia.
      Hipotesis Arus Balik dikemukakan oleh FD. K. Bosh. Hipotesis ini menekankan peranan bangsa Indonesia dalam proses penyebaran kebudayaan Budha di Indonesia. Menurutnya penyebaran budaya India di Indonesia dilakukan oleh para cendikiawan atau golongan terdidik. Golongan ini dalam penyebaran budayanya melakukan proses penyebaran yang terjadi dalam dua tahap yaitu sebagai berikut:
      Pertama, proses penyebaran di lakukan oleh golongan pendeta Budha atau para biksu, yang menyebarkan agama Budha ke Asia termasuk Indonesia melalui jalur dagang, sehingga di Indonesia terbentuk masyarakat Sangha, dan selanjutnya orang-orang Indonesia yang sudah menjadi biksu, berusaha belajar agama Budha di India. Sekembalinya dari India mereka membawa kitab suci, bahasa sansekerta, kemampuan menulis serta kesan-kesan mengenai kebudayaan India. Dengan demikian peran aktif penyebaran budaya India, tidak hanya orang India tetapi juga orang-orang Indonesia yaitu para biksu Indonesia tersebut. Hal ini dibuktikan melalui karya seni Indonesia yang sudah mendapat pengaruh India masih menunjukan ciri-ciri Indonesia.
      Kedua, proses penyebaran kedua dilakukan oleh golongan Brahmana terutama aliran Saiva-siddharta. Menurut aliran ini seseorang yang dicalonkan untuk menduduki golongan Brahmana harus mempelajari kitab agama Hindu bertahun-tahun sampai dapat ditasbihkan menjadi Brahmana. Setelah ditasbihkan, ia dianggap telah disucikan oleh Siva dan dapat melakukan upacara Vratyastome / penyucian diri untuk menghindukan seseorang
      Jadi hubungan dagang telah menyebabkan terjadinya proses masuknya penganut Hindu - Budha ke Indonesia. Beberapa hipotesis di atas menunjukan bahwa masuknya pengaruh Hindu - Budha merupakan satu proses tersendiri yang terpisah namun tetap di dukung oleh proses perdagangan.
      Untuk agama Budha diduga adanya misi penyiar agama Budha yang disebut dengan Dharmaduta, dan diperkirakan abad 2 Masehi agama Budha masuk ke Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya penemuan arca Budha yang terbuat dari perunggu diberbagai daerah di Indonesia antara lain Sempaga (Sulsel), Jember (Jatim), Bukit Siguntang (Sumsel). Dilihat ciri-cirinya, arca tersebut berasal dari langgam Amarawati (India Selatan) dari abad 2 - 5 Masehi. Dan di samping itu juga ditemukan arca perunggu berlanggam Gandhara (India Utara) di Kota Bangun, Kutai (Kaltim).

      Agama Buddha di Jepang


      Keunikan Agama Buddha di Jepang


      Agama Buddha yang dalam bahasa Jepangnya disebut Bukkyo (Butsu : Buddha, Kyo : ajaran) dipercaya mulai masuk ke Jepang lewat kerajaan Baekje di Korea sekitar tahun 538. Beberapa tahun kemudian berbagai buku dan literatur tentang Buddhism juga mulai masuk lewat negara China pada masa dynasty Sui. 40 tahun kemudian Kaisar Jepang saat itu yaitu Pangeran Shotoku (A.D. 574-621) meresmikan Buddha sebagai agama resmi negara. Sebagai agama baru tentu saja tidak lepas dari penolakan dan juga tekanan.
      Pada masa pemerintahan militer Oda Nobunaga (534 - 1582), agama Buddha mengalami masa suram karena pemerintah saat itu bersikap antipati terhadap agama ini. Hal ini disebabkan karena pada masa itu muncul banyak pemberontakan oleh rakyat menentang pemerintah yang kebetulan didukung oleh pendeta Buddha khususnya dari sekte Tendai di kuil Hiei. Pemberontakan akhirnya berakhir dengan penyerbuan ke kuil di yang terletak di atas puncak bukit itu dan membunuh ribuan pengikutnya.
      Pada masa Periode Meiji (1868-1912) pemerintah menetapkan Shito sebagai agama resmi negara sehingga secara tidak langsung menempatkan agama Buddha dalam posisi yang berseberangan. Pada masa itu banyak kuil Buddha yang ditutup dan pemerintah memaksa para rahib untuk berkeluarga. Sejak itu sampai sekarang banyak kuil yang beralih status menjadi Kuil Keluarga yaitu kuil yang pengelolaanya dilakukan secara perorangan dan wariskan secara turun temurun dari bapak ke anaknya.


      Kuil Buddha di negara ini selain berfungsi sebagai tempat ibadah juga berfungsi sebagai tempat wisata. Untuk kuil tertentu yang bernilai historis tinggi dan banyak dikunjungi oleh wisatawan, setiap pengunjung dikenakan tiket masuk seharga kurang lebih 300 yen (Rp 20.000) dan aturan ini berlaku tanpa perkecualian. Jadi, baik yang datang untuk tujuan berdoa ataupun tidak adalah sama saja. Wisatawan yang dimaksud kebanyakan adalah orang Jepang sendiri dan sebagian besar dari mereka akan menyempatkan diri untuk berdoa. Bangunan kuil di Jepang umumnya sangat indah dan sebagian besar terbuat sepenuhnya dari kayu dan sudah berumur ratusan tahun.
      Kuil Toudaiji, salah satu contohnya yang dibangun pada tahun 728 merupakan bangunan kayu tertua di dunia. Beberapa di antara kuil besar di Jepang mendapat perlindungan dari badan dunia yang mengurus masalah budaya yaitu UNESCO.


      Buddha Zen sepertinya merupakan suatu sekte dari agama Buddha yang sangat berpengaruh di negara tersebut. Membicarakan tentang Buddha di Jepang umumnya selalu merujuk kepada sekte Buddha Zen. Demikian juga halnya dengan budaya yang sama sekali tidak bisa dipisahkan dari peran Buddha Zen. Upacara minum teh yang sangat terkenal itu adalah salah satu contohnya. Sekte ini didirikan oleh D?gen Zenji ( (19 January 1200 - 22 September 1253) yang merupakan seorang guru Zen termasyur di Jepang. Tokoh ini pernah lama belajar dan memperdalam ilmunya di negeri China.
      Ketika kita menyempatkan diri berkunjung ke salah satu kuil Zen yang sangat terkenal yaitu Eiheiji Temple di Perfecture Fukui, kita dapat melihat dengan jelas refleksi dari ajaran Zen tersebut. Di komplek kuil yang sangat luas terasa sangat asri dan menyatu dengan alam. Pohon-pohon besar berumur ratusan tahun berdiri tegak menjulang lurus ke atas. Seperti umumnya bangunan kuil di Jepang yang sepenuhnya terbuat dari kayu terlihat sangat bersih dan terawat. Kebersihan merupakan bagian dari ibadah dan tiap hari puluhan orang (calon rahib) tampak menggosok lantai kayu sampai mengkilat dan sebagian orang lagi tampak sibuk mencabut rumput dan tanaman penganggu di taman. Ketika memasuki bangunan utama yang memiliki lorong yang sangat banyak dan panjang, sandal dan sepatu harus dilepas dimasukkan ke dalam kantong plastik dan di bawa selama berkunjung di areal dalam bangunan.


      Untuk para rahib, mereka diharus menjalankan meditasi dan berbagai pantangan yang sangat ketat. Umumnya para rahib Buddha makan hanya dua kali sehari, jadi jam makan, tidur dan juga bangun diatur dengan sangat ketat. Berjalan juga dianggap sebagai bagian dari meditasi atau etika sehingga cara berjalan pun harus dipelajari, misalnya adalah berjalan dengan tidak menimbulkan suara berisik. Maklum saja, berjalan di bangunan yang terbuat dari kayu tentu saja harus lebih hati-hati dibandingkan dengan bangunan tanah atau beton.
      Kuil Buddha atau Tera dalam bahasa Jepangnya bisa ditemukan dalam jumlah yang sangat banyak dan tersebar di berbagai tempat. Kebanyakan dari bangunan Tera yang ada adalah termasuk Kuil Keluarga yang artinya pengelolaannya berada pada perorangan yang diwariskan secara turun temurun. Kebanyakan Tera yang ada adalah berbentuk bangunan kayu yang sudah sangat tua dan dibangun sekitar abad ke-8. Namun kebanyakan dari banguan kuil sekarang adalah renovasi dari kuil lama. Diperkirakan sekarang ini ada sekitar 80.000-an kuil di seluruh Jepang. Di antaranya adalah:
      Kinkakuji atau kuil Emas sangat terkenal karena sesuai dengan namanya bangunannya berwarna kuning keemasan.


      Kiyomizu dera yang dibangun sekitar tahun 798.

      Semua bangunan di atas adalah termasuk Worl Herritage atau warisan dunia yang pengelolaannya di organisaikan oleh Unesco. Seperti umumnya kebanyakan bangunan kuil di negara tersebut yang dibangun sepenuhnya dari kayu dan tanpa paku sama sekali sehingga sangat tahan terhadap gempa. Hal inilah yang menyebabkan bangunan itu bisa bertahan dan tidak roboh meskipun beberapa kali diguncang oleh gempa besar. Namun walaupun begitu, banguanan kayu bukannya tidak mempunyai kelemahan sama sekali. Kelemahan terbesar adalah sangat rentan terhadap kebakaran.


      Senin, 04 Juni 2012

      ALIRAN BUDDHA (MAHAYANA-HINAYANA)



      ALIRAN BUDDHA (MAHAYANA-HINAYANA)

      Latar belakang
      Semenjak Sang Buddha parinibbana terdapat beberapa usaha untuk menlestarikan ajaran Buddha. Diprakarsai oleh Maha Kassapa terbentuklah Sanghayana I yang berusaha melestarikan ajaran Buddha dengan mengulang kembali ajaran-ajaran Buddha melalui bhikkhu Ananda dan Bhikkhu Upali yang mengulang Dhamma dan Vinaya.
      Demikian seterusnya guna melestarikan Dhamma dan Vinaya dilakukan Sanghayana-Sanghayana yang lain. Pada Sanghayana ke dua terdapat permasalahan dimana bhikkhu-bhikkhu dari suku Vajji mengajukan 10 point peraturan yang berbeda sekali dengan yang telah ada. Menurut cullavagga hal ini teru berlanjut menjadi konflik yang akhirnya menimbulkan munculnya gerakan baru yaitu Mahayana sedang yang konservatif disebut hinayana. Tetapi menurut Mahavagga setelah terjadinya perdebatan itu masalah selesai dan masing-masing pihak menerimanya. Tidak terjadi sanghayana lain yang dilakukan oleh kelompok kontra konservatif.
      Kedua aliran itu telah berkembang masing-masing dengan segala atributnya masing-masing. Keduanya telah memperkaya kompleksitas Buddhisme. Kedua aliran ini mempunyai persamaan karena berasal atau bersumber pada hal yang sama yaitu Buddha. Keduanya juga mempunyai perbedaan-perbedaan yang mendasar karena prinsip-prinsip diantara keduanya berbeda.
      A.   Aliran Mahayana
      Sebelum muncul aliran Mahayana dan Hinayana, agama Buddha terpecah menjadi dua yaitu golongan Sthawirawada dan golongan Mahasangghika.  yang mana masing-masing meliputi berbagai aliran yang berdekatan. Pecahnya aliran ini di karenakan adanya perbedaan faham dan tafsiran antara kedua golongan tersebut(Soekmono 2002:24).
      Mahayana merupakan Aliran Buddha yang memperkenalkan unsur mistik dan kemungkinan semua orang dapat menikmati nirvana yang utuh(Gillian, 2000:5).
      Penganut aliran Mahayana mengembangkan sebuah anggapan bahwa ajaran mereka lebih meluas, superior dan memiliki doktrin yang lebih tinggi dari pada Hinayana. Doktrin terbaru menempatkan Buddha sebagai pusat dan pencipta ajaran Buddha dengan pemahaman yang lebih meluas terhadap Buddha(Simkins dkk, 2000:29)
      Seorang raja yang yang terkenal sebagai pelindung Buddha adalah Kaniska( abad peretengahan tarikh masehi) dari Agama Buddha terpecah menjadi dua yaitu golongan Sthawirawada dan golongan Mahasangghika keluarga Kusana suku bangsa caka yang memerintah di daerah Punjab. Dibawah pimpinannya telah dilangsungkanya Muktamar di Jalandara, tetapi yang berkumpul hanyalah mereka dari golongan Mahasangghika(Soekmono 2002:25).
      Perbedaan antara golongan golongan Sthawirawada dan golongan Mahasangghika yang sudah sedemikian lebar, sehingga masing-masing telah menempuh jalan sendiri dan mengalami perkembangan sendiri pula.Dalam abad ke-2 Masehi tampillah Nagarjuna yang berhasil membulatkan aliran-aliran Mahasangghika, sehingga kini menjadi bentuk baru yang memakai nama Mahayana sebagai lawan yang tegas dari golongan Sthawirawada yang mereka sebut Hinayana(Soekmono 2002:25).
       Mahayana terdiri dari dua kata yakni maha (besar) dan yana (kendaraan), jadi secara etimologis berarti kendaraan besar. Ide maha merujuk pada tujuan religius seorang buddhis yaitu menjadi Bodhisatva Samasamboddhi (Buddha sempurna). Mahayana (berasal dari bahasa Sansekerta: , mahāyāna yang secara harafiah berarti 'Kendaraan Besar') adalah satu dari dua aliran utama Agama Buddha dan merupakan istilah pembagian filosofi dan ajaran Sang Buddha. Mahayana, yang dilahirkan di India.
                Bagi pengikut Mahayana  diyakini, bahwa setiap umat Budha hanya dapat mecapai Nirwana kalau mendapat bantuan para orang suci yang telah mendahului mereka dan lelah menempati kedudukan baik di nirwana tersebut(Abu Su’ud 2006:57).
      Sutra Teratai merupakan rujukan sampingan penganut Buddha aliran Mahayana. Tokoh Kwan Im yang bermaksud "maha mendengar" atau nama Sansekertanya "Avalokiteśvara" merupakan tokoh Mahayana dan dipercayai telah menitis beberapa kali dalam alam manusia untuk memimpin umat manusia ke jalan kebenaran. Dia diberikan sifat-sifat keibuan seperti penyayang dan lemah lembut. Menurut sejarahnya Avalokitesvara adalah seorang lelaki murid Buddha, akan tetapi setelah pengaruh Buddha masuk ke Tiongkok, profil ini perlahan-lahan berubah menjadi sosok feminin dan dihubungkan dengan legenda yang ada di Tiongkok sebagai seorang dewi.
      Penyembahan kepada Amitabha Buddha (Amitayus) merupakan salah satu aliran utama Buddha Mahayana. Sorga Barat merupakan tempat tujuan umat Buddha aliran Sukhavati selepas mereka meninggal dunia dengan berkat kebaktian mereka terhadap Buddha Amitabha dimana mereka tidak perlu lagi mengalami proses reinkarnasi dan dari sana menolong semua makhluk hidup yang masih menderita di bumi.
      Mereka mempercayai mereka akan lahir semula di Sorga Barat untuk menunggu saat Buddha Amitabha memberikan khotbah Dhamma dan Buddha Amitabha akan memimpin mereka ke tahap mencapai 'Buddhi' (tahap kesempurnaan dimana kejahilan, kebencian dan ketamakan tidak ada lagi). Ia merupakan pemahaman Buddha yang paling disukai oleh orang Tionghoa.
      Seorang Buddha bukannya dewa atau makhluk suci yang memberikan kesejahteraan. Semua Buddha adalah pemimpin segala kehidupan ke arah mencapai kebebasan daripada kesengsaraan. Hasil amalan ajaran Buddha inilah yang akan membawa kesejahteraan kepada pengamalnya.
      Menurut Buddha Gautama , kenikmatan Kesadaran Nirwana yang dicapainya di bawah pohon Bodhi, tersedia kepada semua makhluk apabila mereka dilahirkan sebagai manusia. Menekankan konsep ini, aliran Buddha Mahayana khususnya merujuk kepada banyak Buddha dan juga bodhisattva (makhluk yang tekad "committed" pada Kesadaran tetapi menangguhkan Nirvana mereka agar dapat membantu orang lain pada jalan itu).
      Penyebaran aliran Mahayana antara abad pertama - abad ke-10 Masehi.
      Dari saat itu dan dalam kurun waktu beberapa abad, Mahayana berkembang dan menyebar ke arah timur. Dari India ke Asia Tenggara, lalu juga ke utara ke Asia Tengah, Tiongkok, Korea, dan akhirnya Jepang pada tahun 538.
      B.   Aliran Hinayana
      Kata Hinayana bukanlah berasal dari bahasa Tibet, bukan berasal dari bahasa China, Inggris ataupun Bantu, tetapi berasal dari bahasa Pali dan Sanskerta. Oleh karena itu, satu-satunya pendekatan yang masuk akal untuk menemukan arti dari kata tersebut, adalah mempelajari bagaimana kata hiinayaana digunakan dalam teks Pali dan Sanskerta.
       Hinayana terdiri dari hina (kecil) dan yana sering disebut sebagai  kendaraan kecil karena bertujuan menjadi arahat maupun paccekabuddha yang dianggap lebih rendah (inferior). Istilah Hinayana sendiri sebenarnya merupakan istilah yang diberikan oleh kaum Mahayana. pengikut aliran Hinayana tersebar mulai dari Srilanka, Burma , Thailand, Vietnam, Kamboja, dan Laos.
      Tradisi yang berkembang selama berabad-abad telah mengubah praktek sempit aliran Hinayana yang pada awalnya hanya di tujukan untuk bikhu. Hinayana menjadi aliran yang besar dengan di kenal ditenggah masyarakat. Para bikhuni terus menekuni ajaran guna mencapai tingkat arhat. namun metode baru berkembang untuk perumah tangga (umat awam) dalam mempraktikkan ajaran Agama Budha, meskipun mereka tinggal bersama keluarga, memiliki harta dan mengejar karir. Aliran hinayana mengajarkan kepada pengikutnya untuk hidup sesuai ajaran, puas dengan pa ayang diperoleh, dan hidup bahagia dengan janji bahwa mereka akan terlahir kembali di alam yang menyenangkan dalam kehidupan serlanjudnya(Simkins dkk, 2000:24).
      C.   Persebaran aliran Hinayana
      Bagi aliran Hinayana beranggapan bahwa keberhasilan umat Buddha dalam mencapai nirwana hanya dengan usaha sendiri, tanpa bantuan dari pihak luar manapun.  Aliran Hinayana di pandang lebih mendekati ajaran Buddha yang asli, karena tidak mengenal dewa-dewa penolong yang akan membantu setiap umat dalam mencapai nirwana(Abu Su’ud 1988:104)
      D. Persamaan antara Mahayana dan Hinayana :
      1.  Mengakui Buddha Sakyamuni sebagai guru agung yang telah tercerahkan.
      2.  Bersumber pada kitab Suci Tipitaka (Pali=Hinayana) atau Tripitaka (Sanskrit=Mahayana).
      3.  Mengakui bahwa keberadaan suatu individu adalah penderitaan dan menginginkan terbebas dari penderitaan ini.
      4.  Kebebasan hanya tercapai jika telah melenyapkan Lobha/raga, dosa/dvesa dan Moha.
      5.  Mengakui hukum karma/kamma yaitu hukum perbuatan siapa yang berbuat dia yang akan menerima buah akibatnya. Percaya pada kelahiran kembali yang sangat dekat dengan hokum karma yaitu ia yang berbuat baik akan terlahir di alam yang bahagia demikian sebaliknya.
      6.  Mengakui adanya hukum sebab-musabab yang saling bergantungnan meski menurut TH.Stcherbatsky, Ph.D mereka mempunyai interpretasi masing-masing tetapi dalam hal ini mereka mengakui bahwa segala sesuatu adalah bergantungan (Paticcasamuppada/pratityasamutpada).
      7.  Mengakui Empat Kesunyataan Mulia sebagai doktrin Buddha yang benar dan mulia.
      8.  Mengakui anicca/ksanika, dukkha/santana, dan anatta/anatmakam.
      9.   mengakui 37 Bodhipaksyadhamma/Bodhipakiyadhamma
      10. Mengakui bahwa dunia ini tiada permulaan atau awal begitu pula akhirnya. 
      E. Perbedaan antara Hinayana dan Mahayana:
                Perbedaan terpenting antara Mahayana dan Hinayana berpokok kepada: 1. Keanggautaan Sanggha; 2. Cita-cita dan tujuan terakhir; 3. pantheon (masyarakat dewa).
                Mengenai keanggautaan Sanggha, Mahayana berpendirian bahwa seluruh umat pemeluk agama Buddha termasuk Sanggha (maka itu dahulu bernama Mahasangghika), jadi tidak hanya para biksu/biksuni saja. Bukankah nirwana itu terbuka untuk setiap orang? perbedaanya hanyalah pada  jalan yang ditempuh. Bagi pendeta, jalan itu lebih pendek dan lebih nyata, dari pada pemeluk biasa(Soekmono2002:25).
      Berhubungan dengan hal tersebut, maka tujuan terakhir Mahayana bukanlah lagi mengejar tingkat Arhat untuk masuk Nirwana, melainkan uintuk lebih tinggi lagi, ialah menjadi Budha (maka Mahayana disebut pula Buddhayana, sedangkan Hinayana disebut Nirwanayana). Cita-citanya bukanlah untuk mengecap kenikmatan bagi dirinya sendiri, melainkan untuk mengajak dan membimbing orang lain memperoleh kenikmatan itu, yang pokoknya mentiadakan diri sendiri(Soekmono 2002:25).
                perbedaan ke-3 mengenai soal pantheon, kalau dalam Hinayana para Buddha memang sudah di puja seperti dewa, maka dalam Mahayana jumlah itu sangat diperbanyak, bahkan ditambah lagi dengan mereka-mereka yang sudah menjadi calon Buddha (yaitu para Bodhisattwa). Para Buddha dan Bodhisattwa itu di bagi lagi menjadi Dhiyani Buddha/Dhiyani Bodhisattwa yang adanya dilangit, dan Manusi-Buddha/ Manusi-Bodhisattwa yang turun di dunia manusia ini dan langsung membimbing umat manusia(Soekmono 2002:25-26).
                Perbedaan lain anrata Mahayana dan Hinayana adalah sebagai berikut:
      1. Dalam memandang kenyataan dunia hinayana menggunakan realisme psikologis, sedangkan Mahayana adalah idealis, implikasinya hinayana memandang penderitaan di dunia ini adalah sebuah kesunyataan sedang Mahayana menganggap hal ini sebagai sebuah ilusi.
      2. Hinayana menolak adanya keberadaan yang sejati di dalam fenomena dan menolak pernyataan-pernyataan metafisika, Mahayana mnegajarkan Kemutlakan yang abadi (eternal absolute).
      3. Mahayana menganggap Buddha Gotama adalah guru yang merupakan manifestasi dari proyeksi yang absolut, sedangkan dalam Theravada/Hinayana beliau dianggap sebagai manusia normal yang mempunyai kekuatan lebih. Mahayana memandang Buddha adalah transenden, mutlak, dan dipuja sangat tinggi dalam Hinayana Buddha dipuja layaknya seorang guru yang membimbing ke kesucian tidak dilebih-lebihkan.
      4. Nibbana hanya dapat dicapai oleh usaha sendiri. Mahayana percaya bahwa nibbana dapat tercapai melalui bantuan orang luar.
      5. Menurut Mahayana jasa dapat ditransfer (punya parinamana) kepada orang lain, sedang hinayana tidak menyetujuinya hanya dapat menginspirasi mahkluk lain (punya anumodana).
      6. Menurut Hinayana Nibbana adalah tujuan tertinggi dari seseorang sedangkan Mahayana memandang kehidupan sebagai Bodhisatva adalah tujuan yang yang harus dilalui sebelum mencapai Kebuddhaan.
      7. Nibbana adalah kebebasan terakhir dari penderitaan sedang dalam Mahayana hal ini dimengerti sebagai kesadaran akan sesuatu yang absolut. Menurut Mahayana  seseorang sudah mempunyai kehidupan kebudhaan dan secara sungguh-sungguh menyadari akan hal ini.
      8. Hinayana bersifat rasionalistik sedangkan Mahayana bersifat ghaib. Misalnya dalam memandang mantra Mahayana mengakui adanya hal mistis dalam mantra-mantra tetapi hinayana memandang bahwa hal itu didukung oleh banyak factor misal keyakinan, kamma, dan kebersihan bathin sehingga mantra atau paritta akan mempunyai sifat mistik.
      9. Dalam hal bodhisatva Mahayana mengakui bahwa Bodhisatva telah mencapai penerangan sempurna seperti Avalokitesvara Bodhisatva, dalam Hinayana Bodhisatva adalah mahkluk calon Buddha yang masih menyempurnakan paramita untuk meraih penerangan sempurna.
      10. Dalam Hinayana mahkluk suci ada empat macam tingkatan yaitu Sottapana, Sakadagami, Anagami, Arahat. Dalam Mahayana mahkluk suci selain empat tersebut yakni Srotapana, Sakadagamin, Anagamin, Arhat juga terdapat sepuluh tingkat kesucian yaitu Dasabhumi yaitu Pramudita, Vimala, prabhakari, Archismati, Sudurjaya, Abhimukti, Durangama, Acala, Sadhumati, Dharmamegha.
      11. Do`a dan ritual dalam Mahayana menjadi aspek yang dipentingkan karena dapat membimbing kepada pencerahan. Berbeda dengan Hinayana yang tidak terlalu mementingkan do`a dan ritual bahkan melekat pada ritual dan do1a akan terjerumus dalam penderitaan (Silabataparamamsa)
      12. Pencapaian kesucian dalam Hinayana adalah dengan melenyapkan rintangan kekotoran bathin (Kilesaavarana) sedangkan dalam Mahayana pencapaian kesucian adalah dengan melenyapkan rintangan kekotoran bathin (Klesavarana) dan rintangan pengetahuan (Jneyaavarana)
      13. Paramita (kesempurnaan) untuk mencapai sammasambuddha dalam Hinayana berjumlah sepuluh (dasa paramita) yaitu Dana, Sila, Nekhama, Panna, Viriya, Khanti, Sacca, Adhithana, Metta, Upekha. Dalam Mahayana paramita yang ditekankan adalah enam paramita (Sad Paramita) yaitu Dana, Cila, Ksanti, Virya, Dhyana, Prajna. Kadang-kadang menjadi dasa paramita ditambah dengan Upaya-Kausalya, Pranidhana, Bala, Jnana. Penekanan pelaksanaan paramita Mahayana berdasarkan atas Karuna dan Prajna.
      14. Kilesa menurut Hinayana ada sepuluh yaitu Lobha, Dosa, Mana, Dithi, Vicchikicha, Thinamidha, uddhacca, Ahirika, dan Anotappa. Menurut Mahayana ada enam yaitu Raga, Pratigha, Mana, Avidya, Kudrasti, Vicikitsa.
      Kesimpulan
      Sebelum muncul aliran Mahayana dan Hinayana agama Buddha terpecah menjadi dua yaitu golongan Sthawirawada dan golongan Mahasangghika. Seorang raja yang yang terkenal sebagai pelindung Buddha adalah Kaniska ingin menyatukan Buddha dengan dilangsungkanya Muktamar di Jalandara, tetapi yang berkumpul hanyalah mereka dari golongan Mahasangghika.
      Dengan tidak datangnya golongan Sthawiwarada memperlihatkan Perbedaan antara golongan golongan Sthawirawada dan golongan Mahasangghika yang sudah sedemikian lebar, sehingga masing-masing telah menempuh jalan sendiri dan mengalami perkembangan sendiri pula. aliran Mahasangghika, sehingga kini menjadi bentuk baru yang memakai nama Mahayana sebagai lawan yang tegas dari golongan Sthawirawada yang mereka sebut Hinayana.
                Bagi pengikut Mahayana  diyakini, bahwa setiap umat Budha hanya dapat mecapai Nirwana kalau mendapat bantuan para orang suci yang telah mendahului mereka dan lelah menempati kedudukan baik di nirwana tersebut. Sedangkan Hinayana, bagi aliran Hinayana beranggapan bahwa keberhasilan umat Buddha dalam mencapai nirwana hanya dengan usaha sendiri, tanpa bantuan dari pihak luar manapun.
                Dalam pelaksanaan antara Mahayana dan Hinayana terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya yaitu mengakui bahwa Buddha adalah tuhan mereka dan Bersumber pada kitab Suci Tipitaka. Sedangkan perbedaannya 1. Keanggautaan Sanggha; 2. Cita-cita dan tujuan terakhir; 3. pantheon (masyarakat dewa).
      DAFTAR PUSTAKA
      1.    Simkins, dkk. 2000. Simple buddhisme “Panduan menuju hidup yang senantiasa tercerahkan”. Jakarta:PT Buana Ilmu Populer
      2.    Stokes, Gillian. 2000. Seri Siapa Dia “Buddha”. Jakarta:Erlangga
      3.     Soekmono, R. 2002. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta
      4.    Su’ud, Abu.1988. Memahami sejarah Bangsa-Bangsa di Asia Selatan. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.
      5.    http//www.wikipedia/Aliran Mahayana (diakses 2 Juni 2012)
      6.    Http//www. Hinayana .com  (diakses 2 Juni 2012)