Rabu, 23 Mei 2012

Hukuman Mati Ditinjau dari Agama Buddha



HUKUMAN MATI DITINJAU DARI AGAMA BUDDHA
Pendahuluan
Perdebatan mengenai masalah pro dan kontra terhadap hukuman mati pada dewasa ini belum sampai pada titik tuntas, dan kiranya masih akan berkembang terus untuk waktu yang lama. Para ahli, negarawan, dan tokoh-tokoh masyarakat yang pro dan kontra terhadap hukuman mati itu mengemukakan argumentasinya dari berbagai sudut pendekatan, yaitu dari sudut ilmu hukum, ilmu jiwa, ilmu kemasyarakatan, kriminologi, dan sebagainya.
Di negara Indonesia dan juga di negara-negara lain, perdebatan masalah pro dan kontra terhadap hukuman mati masih belum selesai. Agaknya pandangan manusia terhadap hukuman mati mengalami proses perkembangan evolusioner. Di negara Inggris, beberapa abad berselang, seseorang yang mencuri ayam dapat dihukum gantung. Pada dewasa ini hukuman mati telah dihapuskan sepenuhnya di sabagian besar negara-negara maju. Sebaliknya, di beberapa negara bagian Amerika serikat, hukuman mati yang pernah dihapuskan kini diberlakukan kembali dengan pertimbangan tertentu.
Masalah hukuman mati di Indonesia diatur dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 11 yang berbunyi,
“ Hukuman mati yang dijalankan oleh algojo di tempat penggantungan
dengan menggunakan sebuah jerat di leher terhukum dan
mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan
menjatuhkan papan tempat orang itu berdiri. “
Ketentuan tentang pelaksanaan pidana mati dengan cara digantung sebagaimana tersebut dalam pasal 11 KUHP dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan jiwa revolusi Indonesia. Oleh sebab itu, dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 2 Pnps tahun 1964, pelaksanaan pidana mati di Indonesia tidak lagi dilaksanakan dengan cara digantung, tetapi dilakukan dengan cara ditembak sampai mati di suatu tempat dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama. Di Amerika, ada negara-negara bagiannya yang memakai kursi listrik atau gas beracun untuk melaksanakan hukuman matinya. Sedangkan di Perancis, pelaksanaan hukuman mati dilakukan dengan pemenggalan kepala dengan memakai alat yang disebut “ quilotine “.
Di Indonesia, sejak pemulihan kedaulatan sampai sekarang telah empat kali dijatuhkan hukuman mati oleh Pengadilan Negeri di Indonesia, yaitu atas perkara terdakwa Hamzah dalam peristiwa pembunuhan Ali Bajened, atas tiga orang terdakwa Saadon bin Mochamad, Ismail bin Husein, dan Tasrif bin Yusuf dalam peristiwa Cikini, atas terdakwa Allen Lawrence Pope dalam peristiwa pemboman di Ambon, dan atas terdakwa Kusni bin Kasdut dalam perkara perampokan di musium. Hukuman Hamzah belum dilaksanakan, karena terdakwa telah melarikan diri. Hukuman tiga orang terdakwa peristiwa Cikini (percobaan pembunuhan terhadap mantan presiden Soekarno di sebuah sekolah di Cikini) telah dilaksanakan pada tanggal 28 Mei 1960 secara Hukum Acara Pidana Militer, ialah dengan jalan ditembak. Sedangkan, hukuman terdakwa Allen Lawrence Pope belum dilaksanakan, karena naik banding ke Pengadilan yang lebih tinggi.
Penghukuman mati atas diri Kusni Kasdut telah dilakukan dengan cara ditembak sampai mati di suatu tempat dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama. Tiga kali dua puluh empat jam sebelum saat pelaksanaan hukuman mati, Kusni Kasdut telah diberitahu terlebih dahulu oleh jaksa tentang akan dilaksanakan pidana mati tersebut.
Sesungguhnya, tujuan pemidanaan di Indonesia yang berazaskan Pancasila itu pada dasarnya bertitik berat pada unsur pendidikan. Jadi, pidana mati masih perlu dipertahankan. Hanya penjatuhannya harus sehemat mungkin, dan sebaiknya hanya dijatuhkan apabila sudah diyakini bahwa penjatuhannya itu adalah yang terserasi pada saat penjatuhan tersebut.
Dengan melihat unsur pendidikannya, hukuman mati masih diberlakukan di negara Indonesia. Demikian pula dengan negara-negara Buddhis, misalnya Thailand, yang masih tetap melaksanakan hukuman mati terhadap siapa saja yang melanggar hukum negara seperti tindakan kejahatan yang berat. Sesungguhnya, di kalangan umat Buddha juga terdapat golongan-golongan yang pro dan yang kontra terhadap hukuman mati.
Tinjauan secara agama Buddha
Agama Buddha atau Buddha Dhamma memang tidak secara langsung mengurusi masalah-masalah kemasyarakatan. Agama Buddha tidak mengurusi masalah perkawinan, perceraian, warisan, perdagangan, hukum, pemerintahan, peperangan, dan sebagainya. Ajaran Sang Buddha atau Buddha Dhamma bertujuan untuk menyelamatkan manusia dari kejahatan secara perorangan. Lalu, dengan jalan ini secara tidak langsung ketentraman dan kesejahteraan masyarakat akan meningkat. Kemudian, lebih dari pada itu, ajaran Sang Buddha bertujuan untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penderitaan, baik di dunia ini maupun di alam lain.
Namun, sejak ajaran Sang Buddha dianut bersama-sama oleh orang banyak atau kelompok-kelompok individu atau masyarakat, bangsa-bangsa, atau negara-negara, ajaran Beliau mengalami banyak perubahan dengan bentuk-bentuk yang kiranya disesuaikan dengan keadaan, lingkungan, kebutuhan, atau kecenderungan orang-orang yang menganutnya. Dalam hai ini, ajaran Sang Buddha (Buddha Dhamma) mendapat perubahan sebutan menjadi agama Buddha, yang kemudian penganutnya pecah menjadi kelompok-kelompok yang sampai saat ini merupakan sekte atau aliran-aliran yang sangat beraneka ragam. Oleh sebab itu, tidaklah jarang ditemui bentuk-bentuk agama Buddha atau aliran agama Buddha yang kompleks, yang bercampur baur dengan bermacam-macam paham kepercayaan, kebiasaan, adat istiadat atau tradisi yang dimasukkan ke dalam perkembangan agama Buddha itu. Bahkan, ada kalanya dijumpai dalam beberapa aliran itu, bahwa adat istiadat atau tradisi jauh lebih menonjol dari pada ajaran Sang Buddha yang sebenarnya. Dalam hal demikian, mereka masih tetap taat dan kukuh menyebut sebagai agama Buddha dan menyatakan dirinya orang Buddhis, masyarakat Buddhis, negara Buddhis, dan lain-lain. Mengenai hal ini, umat Buddha tak dapat berbuat apa-apa selain dari pada berusaha mengembangkan pengertian dan kesadaran masing-masing dan mengharapkan pengertian bersama dalam lingkungan hidup bersama.
Mengenai hukuman mati, memang sebenarnyalah dalam ajaran Buddha tidak pernah dibicarakan tentang hukum tata negara, apalagi pelaksanaan hukumam mati. Demikian pula, dalam ajaran Sang Buddha tidak ada pernyataan yang membenarkan atau yang tidak membenarkan pelaksanaan hukumam mati itu. Yang banyak dibicarakan dengan tegas dan tandas ialah proses sebab dan akibat yang disebut hukum karma.
Dalam Samyutta Nikaya I : 227, Sang Buddha bersabda sebagai berikut :
Sesuai dengan benih yang telah ditabur,
Begitulah buah yang akan dipetiknya,
Pembuat kebaikan akan mendapatkan kebaikan,
Pembuat kejahatan akan dimemetik kejahatan pula,
Taburlah biji-biji benih dan
Engkau pulalah yang akan merasakan buah-buah daripadanya.
Hukum karma merupakan hukum sebab dan akibat dari perbuatan. Jika orang berbuat baik, maka keadaan yang menyenangkanlah yang akan dialaminya. Sebaliknya, jika orang berbuat jahat, maka keadaan yang tidak menyenangkanlah yang akan diterima. Keadaan yang menyenangkan atau yang tidak menyenangkan yang merupakan akibat dari perbuatannya itu dapat timbul atau datang dari bermacam-macam segi, misalnya datang dari dirinya sendiri, dari alam lingkungannya, dari makhluk – makhluk halus, dari orang lain, dari pemerintah, dan lain – lain.
Umpamanya, ada kalanya seseorang yang setelah berbuat jahat lalu menyesali perbuatannya atau merasa malu, takut, sedih, dan lain – lain, kemudian menyiksa dirinya atau ada juga yang sampai membunuh dirinya sendiri. Ini merupakan akibat dari perbuatannya yang jahat. Demikian pula, jika orang berbuat jahat yang merugikan makhluk lain atau orang lain, merugikan masyarakat atau negara atau yang lainnya, maka ia juga dapat menerima akibat atau ganjalan yang datangnya dari obyek – obyek yang dirugikan atau dari salah satu pihak yang tersebut diatas. Jadi, keadaan yang tidak menyenangkan bagi orang yang berbuat jahat itu wajar diterimanya, apakah itu merupakan hukuman yang ringan, sedang, atau berat, atau hukuman mati, sesuai dengan besar kecilnya kejahatan yang dilakukannya.
Selanjutnya, apakah hukumannya itu datang dari dirinya sendiri, dari alam, dari orang lain, atau dari negara, itu tergantung pada waktu atau keadaan, tempat, sasaran, berat ringan atau ruang lingkup dari kejahatan yang dilakukan. Demikian pula, bentuk dari hukuman itu tergantung pada unsur – unsur tersebut diatas, yang mungkin berupa hukuman denda, kurungan badan, kerja paksa, siksaan, atau hukuman mati. Terjadinya hal ini kiranya sangat sukar ditentukan sebelumnya, kapan, dimana, bagaimana, dan siapa yang akan melaksanakan hukuman itu, karena hal ini tergantung pada banyak seperti tersebut diatas. Jadi, pada hakekatnya akibat dari perbuatan jahat itu wajar dan patut diterima oleh para pelakunya, baik itu merupakan hukuman ringan, hukuman berat, maupun hukuman mati, sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya.
Sebenarnya, apa yang disebut “ hukuman “ yang harus diterima oleh orang yang berbuat jahat itu, terutama yang datangnya dari negara atau pemerintah itu tidak lain dari pada suatu bentuk pendidikan yang bertujuan untuk menyadarkan orang yang jahat agar berhenti berbuat kejahatan. Oleh karena itu, hukuman tersebut, baik yang ringan maupun yang berat, merupakan kebutuhan pendidikan yang darurat dan mendesak bagi orang yang jahat untuk mempercepat evolusi kejiwaannya dan menyelamatkan lingkungan yang dirusak oleh kejahatannya.
Setiap orang jahat pasti pada suatu saat akan menerima hukuman itu, baik hukuman yang berat maupun yang ringan, ataupun hukuman mati, karena hukuman itu sebenarnya memang dibutuhkan oleh mereka dalam perjalanan kehidupannya untuk perkembangan batinnya menuju kebaikkan dan kesempurnaan. Dengan adanya hukuman yang bersifat mendidik itu, mereka menjadi sadar akan kesalahannya dan berusaha untuk tidak mengulangi lagi kesalahan itu pada masa – masa mendatang. Mereka ikhlas menerima hukuman yang dijatuhkan kepadanya dan berusaha tetap tenang pada saat menjalani hukuman itu. Mereka yang dijatuhi hukuman mati berusaha bersikap dewasa. Pada saat eksekusi atau pelaksanaan hukuman mati, mereka berusaha memusatkan pikiran ke arah yang baik agar mereka dapat meninggal dengan pikiran yang tenang. Dengan ketenangan pikiran itu, mereka dapat bertumimbal lahir di alam yang lebih baik.
Sesungguhnya, hukuman atau penderitaan itu memang sudah ada, yang pada hakekatnya diciptakan oleh orang – orang jahat itu sendiri melalui karmanya yang jahat. Ya… orang jahat pasti akan menerima akibat dari perbuatan jahatnya itu. Ia akan sedih dan menderita.
Dalam kitab suci Dhammapada bab I ayat 15, Sang Buddha bersabda sebagai berikut :
Di dunia ini ia bersedih hati,
Di dunia sana ia bersedih hati,
Pelaku kejahatan akan bersedih hati di kedua dunia ini.
Ia bersedih hati dan meratap
Karena melihat perbuatannya sendiri yang tidak bersih.
Dalam kitab suci Dhammapada bab I ayat 17, Sang Buddha kembali bersabda sebagai berikut :
Di dunia ini ia menderita,
Di dunia sana ia menderita,
Pelaku kejahatan menderita di kedua dunia itu.
Ia akan meratap ketika berpikir,
“ Aku telah berbuat jahat, “
dan ia akan lebih menderita lagi
ketika berada di alam sengsara.
Selanjutnya, apakah orang yang melakukan tugas negara untuk membunuh penjahat itu akan mendapat akibat karma yang tidak baik ? Di sini harus dilihat dari cetana atau kehendak si algojo itu. Jika algojo itu mempunyai rasa benci yang amat besar terhadap si penjahat pada saat ia membunuhnya, maka algojo tersebut akan mendapat akibat karma buruk yang berat . Namun, jika algojo itu tidak mempunyai rasa benci terhadap si penjahat pada saat ia membunuhnya, yang berarti bahwa tugas itu dilakukannya dengan terpaksa, maka ia akan mendapat akibat karma buruk yang lebih ringan.
Demikian pula halnya dengan hakim yang menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap si terdakwa. Jika hakim itu mempunyai rasa benci yang amat besar terhadap si terdakwa pada saat ia menjatuhkan vonis hukuman mati, maka ia akan mendapat akibat karma buruk yang berat. Namun, jika hakim itu tidak mempunyai rasa benci terhadap si terdakwa pada saat ia menjatuhkan vonis hukuman mati itu, tetapi semata – mata untuk menjalankan tugas negara yang berarti hukuman mati itu diadakan dengan tujuan baik, yaitu agar masyarakat, bangsa, dan negara itu aman, sejahtera, damai, dan bahagia lahir dan batin, maka ia akan mendapat akibat karma buruk yang lebih ringan.
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa jika di lihat dari tujuan pemerintah mengadakan hukuman mati dan bahwa hukuman itu pasti pada suatu saat akan diterima oleh orang yang berbuat jahat, maka tindakan pemerintah mengadakan hukuman mati itu dapat dibenarkan. Ini juga merupakan alasan bagi golongan umat Buddha yang pro terhadap hukuman mati.
Di kalangan umat Buddha juga terdapat golongan umat Buddha yang kontra terhadap hukuman mati. Mereka tentu saja tidak dapat membenarkan adanya hukuman mati dalam situasi apapun. Mereka mengemukakan argumentasinya dari sudut metta yang diajarkan oleh Sang Buddha.
Metta atau maitri berarti cinta kasih tanpa pamrih. Suatu ketika Sang Buddha pernah memberikan nasihat sebagai berikut : “Persis laksana seorang ibu melindungi anaknya yang tunggal, walaupun sampai mengorbankan kehidupannya, demikianlah juga seharusnya seseorang memelihara welas asih yang tak terbatas itu kepada semua makhluk. “ Di sini, yang dimaksudkan bukanlah perasaan cinta kasih yang berdasarkan nafsu kemilikan dari seorang ibu terhadap anaknya, tetapi yang dimaksudkan adalah keinginan yang murni atau suci dari seorang ibu untuk mencapai kesejahteraan anaknya.
Metta bukanlah hanya terbatas dalam perasaan bertetangga atau bersaudara kandung. Metta bukan pula persaudaraan yang berdasarkan kesamaan politik, suku bangsa, kebangsaan, atau agama. Metta lebih luas dan lebih mulia dari segala macam persaudaraan yang sempit itu. Metta tanpa batas dalam bidang – bidang dan peraturan. Metta tidak mempunyai rintangan atau penghalang, juga tidak mengadakan perbedaan. Metta yang luhur ini memancarkan berkahnya yang halus dan tenang itu sama rata terhadap yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, yang kaya dan yang miskin, yang baik dan yang buruk, yang jahat dan yang bajik, pria dan wanita, manusia dan binatang.
Demikian juga halnya dengan Sang Buddha. Beliau memiliki metta yang tak terbatas. Beliau “ bekerja “ dengan tanpa pamrih untuk kesejahteraan dan kebahagiaan semua mahkluk, baik orang – orang yang mencintainya maupun yang membencinya atau yang mencoba membunuhnya. Beliau memancarkan metta- nya yang sama terhadap puteranya Rahula, terhadap Devadatta yang memusuhinya, terhadap Ananda siswanya yang tersayang, terhadap orang – orang yang pro dan kontra, dan terhadap semua makhluk.
Orang yang memiliki metta pasti suka melakukan Abhaya Dana ( berdana dalam bentuk pemberian maaf). Mereka suka memberikan maaf terhadap orang-orang jahat, karena mereka memnyadari bahwa orang-orang jahat yang belum mencapai kesucian itu pasti masih bisa berbuat salah. Mereka tidak membenci orang-orang jahat itu. Mereka memancarkan cinta kasih kepada orang-orang jahat itu. Mereka berusaha membantu menyadarkan orang-orang jahat itu agar menghentikan perbuatan jahatnya. Mereka berusaha membimbing orang-orang jahat itu ke jalan yang benar.
Dalam prakteknya, metta yang diajarkan oleh Sang Buddha, juga harus disertai dengan panna. Panna adalah kebijaksanaan luhur, yang akan mengusir semua kegelapan. Sang Buddha mengajarkan agar umat Buddha dapat menjadi orang yang bijaksana. Umat Buddha harus dapat memilih yang terbaik untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.

 By :  http://artikelbuddhist.com/2011/05/hukuman-mati-ditinjau-dari-agama-buddha.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar